Selamat Datang Diblog MADRASAH DINIYAH AL YAQIN. Terima kasih anda sudah mengunjungi Blog kami.

Minggu, 24 Juli 2011

ORIENTASI PENDIDIKAN KEAGAMAAN HARUS SEIMBANG

Dalam pandangan Islam ada tiga istilah yang terkait dengan konotasi pendidikan yaitu, ta’lim, ta’dib dan tarbiyah, masing-masing istilah ini memiliki arti dan makna yang berbeda-beda, namun ketiganya bermuara pada konsep dasar pendidikan yaitu sebagai upaya untuk mempersiapkan generasi mendatang untuk menjalankan kehidupan dan memenuhi tujuan hidupnya secara efektif dan efisien. Dari ketiga istilah tersebut di Indonesia, kata tarbiyah mungkin lebih populer sebagai pendidikan dari pada ta’lim dan ta’dib. Ini terlihat pada kebanyakan nama lembaga yang bergerak di bidang pendidikan menggunakan kata tarbiyah sedangkan majelis ta’lim misalnya lebih mewakili pada lembaga-lembaga yang bergerak di bidang dakwah.

Dalam konteks kekinian dan realitas keindonesiaan, pendidikan Islam atau tarbiyah al-islamiyah setidaknya terdapat tiga jenis, pertama, pendidikan keagamaan, artinya Islam diletakkan dalam posisi sebagai bidang studi (mata pelajaran) yang sejajar dengan bidang studi lainnya yang bukan kategori keagamaan, ini terlihat pada bentuk sekolah-sekolah umum. Kedua, sebagai sebuah model pendidikan yang juga dicerminkan dalam nama lembaga dan kegiatan-kegiatannya (sekolah Islam), sedangkan yang ketiga, sebagai antithesis dari keduanya yaitu sebagai pendidikan keagamaan dan sekaligus menerapkannya sebagai model pendidikan (pendidikan diniyah dan pondok pesantren).
Dalam pendidikan Islam, tujuan tidak sekedar menyangkut persoalan ciri khas, melainkan lebih mendasar lagi, yaitu sesuatu yang diidamkan dan diyakini sebagai yang paling ideal. Atau dalam pembahasan filsafatnya diistilahkan sebagai “insan kamil“ atau manusia paripurna. Hal ini dapat terwujud dengan upaya mengembangkan kepribadian manusia yang bersifat menyeluruh secara harmonis berdasarkan potensi psikologis dan fisiologis. Sangat penting bagi kita untuk merumuskan tujuan dalam proses pendidikan, agar dapat menetapkan langkah-langkah yang akan dijalani selama proses itu berlangsung. Dalam Islam, tujuan pendidikan dengan jelas mengarah kepada terbentuknya insan kamil seorang muslim yang teguh dalam menjalankan agama dan nemiliki kecerdasan yang tinggi serta akhlaq dan budi pekerti yang luhur dalam bergaul dengan sesama manusia atau yang biasa kita kenal dengan kecerdasan IQ, EQ dan SQ.
Keseimbangan antara Dunia dan Ukhrowi
Bertolak dari rumusan tujuan pendidikan di atas, maka sistem pendidikan berorientasi pada persoalan dunia dan akhirat sekaligus. Meskipun dalam prakteknya cukup banyak lembaga-lembaga Islam yang cenderung mementingkan dimensi keakhiratan semata, dari pada keduaniawian. Ini terjadi karena kehidupan ukhrowi dipandang sebagai kehidupan yang sesungguhnya dan terakhir, sedangkan kehidupan duniawi bersifat sementara, bukan yang terakhir. Namun demikian, pada dasarnya pendidikan Islam memperhatikan keseimbangan dua kehidupan tersebut dan tidak bisa diabaikan begitu saja. Aspek keduniawian, karena sebagai manusia yang mengemban tugas kekhalifahan di muka bumi ini harus pula membekali dengan ilmu-ilmu keduniawian dan perkembangannya sehinggga dapat memenuhi tugas itu secara maksimal.
Dikotomi antara dunia dan akhirat, dikotomi antara unsur-unsur kebendaan dan unsur agama, materialisme dan orientasi nilai-nilai ilahiah semata, justru akan melahirkan manusia yang berkepribadian terbelah (split personality). Mereka yang memilih keberhasilan di alam ‘vertikal’ cenderung berfikir bahwa kesuksesan dunia justru adalah sesuatu yang bisa “dinisbikan” atau sesuatu yang bisa demikian mudahnya “dimarjinalkan”. Hasilnya mereka unggul dalam kekhusyuan dzikir dan kekhidmatan berkontemplasi namun kalah dalam percaturan ilmu pengetahuan, ekonomi, sosial, politik dan kebudayaan di alam “horizontal”, begitupun sebaliknya yang hanya berpijak pada alam kebendaan, kekuatan berfikirnya tidak pernah diimbangi dengan kekuatan dzikir. Realitas kebendaan yang masih membelenggu hati, tidak memudahkan baginya untuk berpijak pada alam fitrahnya (zero mind), padahal sistem pendidikan Islam menekankan pada pembentukan kepribadian yang berujung pada fitrah dasar manusia untuk ma’rifah Allah dan bertaqwa kepada-Nya, seperti diungkapkan oleh Muhammad Fadhil Al-Jumaly yang dikutip oleh Mastuhu, menunjukkan keterikatan duniawiyah dan ukhrowiyah sekaligus.
Karena itu, salah satu prinsip sistem pendidikan Islam adalah keharusan untuk menggunakan metode pendekatan yang menyeluruh terhadap manusia yang meliputi dimensi jasmani-rohani dan semua aspek kehidupan, baik yang dapat dijangkau akal maupun yang hanya diimani melalui kalbu, bukan hanya lahiriyahnya saja tetapi juga batiniyahnya.
Perpaduan antara Ranah Kognitif, Afektif dan Psikomotorik
Hakekat pendidikan adalah suatu usaha mengantarkan peserta didik untuk dapat menggali potensi dirinya menjadi suatu realitas yang real. Oleh karena itu, kegiatan dan proses belajar-mengajar dalam suatu pendidikan adalah penumbuhan dan pengembangan peserta didik sesuai dengan hakekat potensialnya tersebut. Dalam pengembangan potensi-potensi yang ada pada diri peserta didik, dipahami bahwa suatu pendidikan yang baik harus menjawab tiga ranah kemanusiaan yakni ranah kognitif (intelektual), ranah afektif (emosional), dan ranah psikomotorik (pengamalan). Tidak ada proses pendidikan yang dianggap sempurna jika meninggalkan salah satu diantara ketiga ranah tersebut. Pendidikan yang hanya cenderung pada ranah kognitif saja akan melahirkan generasi yang genius secara intelektual tetapi kering emosional dan rendah kualitas pengamalannya.
Pengetahuan kognitif dan diikuti kesadaran emosi saja tidak dapat menggali potensi realitas secara optimal, namun harus diikuti dengan penggarapan ranah psikomotorik. Dengan pengetahuan dan kesadaran yang tercipta karena kepemilikan pengetahuan intelektual dan memiliki keinginan untuk berbuat oleh adanya dorongan emosional, tetapi tidak dapat benar-benar terwujud suatu tindakan yang nyata akibat tidak tergarapnya ranah psikomotorik. Penggarapan ranah psikomotorik terkait dengan pengembangan etos kejujuran, kerja keras, profesional, kesopanan, dan sosial-filantropik dalam bentuk disiplin dan latihan-latihan nyata.
Dengan demikian pendidikan Islam, dalam prosesnya, menyertakan program intensif peningkatan intelektual dan menghidupkan aspek spiritual yang akhirnya dapat menjadi modal untuk hidup dalam kebudayaan bangsa yang selalu berkembang seiring pencapaian kemajuan peradaban manusia. [HI]

0 komentar:

Posting Komentar

Pengunjung