Selamat Datang Diblog MADRASAH DINIYAH AL YAQIN. Terima kasih anda sudah mengunjungi Blog kami.

Jumat, 23 Desember 2011

Ibu, Madrasah Pertama

Alqur'an memang menegaskan bahwa ayah menjadi pendidik dalam keluarga. Sebagaimana firman Allah SWT, "Quu anfusakum waahlikum naaran" ( Jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka ). Walau begitu islam memberikan peran yang amat sangat besar kepada ibu sebagai pendidik.
menarik apa yang diungkapkan ulama, bahwa ibu bagaikan madrasah pertama bagi anak (al-ummu kalmadrasatul ula).
Ungkapan ulama itu menarik kita cermati, bagaimana tidak? sejak dalam kandungan sang ibu sudah mendidik anaknya.

Di saat sang ibu marah, anak yang dalam kandungan pun akan merespon marah tersebut dan berdampak tak baik bagi perkembangan otak anak.

Demikian juga saat sang ibu membaca Alquran, maka anak dalam kandungan pun meresponnya dengan baik dan membentuk sifat yang baik pula. Makanya jangan heran jika pendidikan pertama itu dilakukan oleh ibu.

Kalangan ahli kedokteran dan ilmu jiwa menyarankan agar mendidik anak diawali dari saat dalam kandungan.

Bahkan kalangan musisi berpendapat bahwa anak yang dalam kandungan sering didengarkan musik klasik, akan membuat anak itu cerdas. Jangan heran jika saat ini banyak dijual kaset musik klasik khusus untuk ibu hamil seperti Mozart, Beethoven dan pemusik klasik lainnya.
Perlu diingat bahwa kecerdasan itu tidak hanya intelektual atau Intellegent Quantity (IQ) tetapi kecerdasan emosial atau Emotional Quantity (EQ) anak pun perlu mendapat perhatian.

Di sinilah pentingnya peran ibu sebagai pendidik awal (guru pertama) bagi anak, yakni membangun kecerdasan emosial anak, baik di saat dalam kandungan ataupun setelah lahir dan golden age.

Pendidikan karakter muatannya tidak hanya intelektual semata, tetapi bagaimana karakter anak itu tangguh, memiliki kecerdasan emosi yang baik.

Bukankah tidak sedikit anak yang pintar saat sekolah atau kuliah, tetapi gagal dalam mengarungi kehidupan ini. Di sinilah pentingnya kecerdasan emosional bagi anak.

Goleman, salah seorang psikolog yang mempopulerkan kecerdasan emosional (EQ) menegaskan bahwa EQ tidak kalah pentingnya dengan kecerdasan intelektual (IQ).

EQ dalam wujudnya justru memberi kita rasa empati, cinta, solidaritas, dan kemampuan merasakan kesedihan ataupun kegembiraan kesemuanya terkait dengan unsur-unsur kemanusiaan.

Kecerdasan emosi pada anak tidak terjadi begitu saja tapi harus diajarkan dan dibentuk sejak dini karena itu peran orang tua, ibu, sangat penting dalam membentuk kecerdasan emosi pada anak.

Ibu sebagai orang yang paling dekat dengan anak, maka memiliki peran penting dalam membentuk kecerdasan emosional anak tersebut.

Saat menyusukan anak, jika didengarkan suara-suara lembut, maka anak pun akan menengadahkan wajahnya ke muka sang ibu, memperhatikan dengan seksama, ini akan membentuk kecerdasan emosional anak yang baik.

Seperti orang dewasa, anak juga merasakan bermacam-macam emosi seperti marah, malu, senang, sedih, terkejut dan sebagainya. Ajari anak untuk mengenali emosinya, mengekspresikan emosinya dam mengendalikan emosinya dengan tepat.

Banyak kalangan orang tua yang menyepelekan kecerdasan emosional ini, padahal keberhasilan seseorang itu sangat tergantung pada kecerdasan emosional.

Tak jarang anak yang nilai sekolahnya pas-pasan tetapi kecerdasan emosionalnya baik, maka anak itu sukses dalam kehidupannya.

Sementara anak yang pintar tetapi kepribadiannya tidak menyenangkan (buruk) maka orang yang demikian sulit mencapai sukses dalam hidupnya, karena untuk sukses kita perlu bantuan dan dukungan orang lain, di sinilah pentingnya pendidikan karakter. Bagaimana membentuk karakter anak yang baik dan cerdas.

Kita saksikan sendiri bagaimana Rasulullah menjalani hidupnya, walau dengan kondisi prihatin, dia memiliki keindahan perilaku, sehingga ini yang membuatnya unggul.

Demikian juga sejumlah tokoh besar di dunia yang sukses, mereka berhasil bukan karena nilai di sekolah yang tinggi tetapi memiliki kecerdasan emosional yang baik.

Contoh dekat saat ini kita saksikan sosok Dahlan Iskan, pengusaha pers yang berhasil dalam beragam tugas yang diembannya, mulai dari Dirut PLN sampai sekarang Menteri BUMN, dia ternyata sosok yang berasal dari keluarga sederhana bahkan dalam buku Ganti Hati dia menjelaskan dari keluarga miskin, namun karena memiliki kecerdasan emosional yang baik, akhirnya berhasil memimpin sejumlah perusahaan.

Tak terbayangkan sosok seperti Dahlan Iskan yang dari keluarga miskin dan hanya tamatan madrasah aliyah ternyata mampu mengurusi listik (PT PLN), dimana anak buahnya banyak doktor listrik alumni Amerika, tetapi dia berhasil merangkul mereka dan membuktikan PLN ternyata bisa tidak padam. Bahkan saat ini Dahlan harus menangani 140 lebih BUMN besar di negeri ini.

Kita tidak ingin memiliki anak-anak generasi muda yang pintar IQ-nya tetapi rapuh alias melempem, tak mampu menghadapi kehidupan ini. Ibu sebagai ‘madrasah pertama’ dituntut menanamkan pondasi awal kecerdasan emosional anak.

Pendidikan emosional diawali dari hal-hal yang sepele, misalnya ketika sang anak mulai banyak bertanya, ‘’Ini apa?, Itu apa?, Kenapa begini?, Kenapa begitu?,’’ seorang ibu dituntut untuk dapat memberikan jawaban yang terbaik dengan santun.

Yakni jawaban yang tidak mematikan rasa ingin tahu anak, bahkan sebaliknya, jawaban yang membuat anak semakin terpacu untuk belajar.

Selama ini tidak sedikit ibu yang beranggapan, ketika anak sudah masuk sekolah, maka sekolah lah yang bertanggun jawab atas pendidikan anaknya.

Padahal peran ibu tak tergantikan oleh guru di sekolah. Ibu memiliki peran lebih dari sekolah, yakni membangun kecerdasan emosional anak, bahkan membangun kecerdasan spiritual anak.

Peran yang demikian strategis ini, menuntut seorang ibu untuk membekali dirinya dengan ilmu yang memadai. Maka, seorang ibu harus terus bergerak meningkatkan kualitas dirinya.

Karena, untuk mencetak generasi yang berkualitas, diperlukan pendidik yang berkualitas pula. Hal itu berarti, seorang  ibu tidak boleh berhenti belajar.

Jika ibu menjadi lembaga pendidikan (madrasah) pertama dalam kehidupan anak, maka lembaga itu perlu dipersiapkan dengan baik, insya Allah darinya akan lahir pemuda-pemuda berjiwa mulia, yang tangguh walau miskin harta tetapi tidak miskin iman, takut korupsi dan takut berbuat jahat.

Tidak seperti fenomena sekarang ini, banyak orang pintar tetapi miskin iman, siapa yang salah, lembaga pendidikan atau orang tua?

Demikian berat tugas seorang ibu, sampai-sampai Rasulullah memberi perhatian lebih pada ibu, yakni mengajak untuk memuliakan ibu.  Selamat Hari Ibu.

Rabu, 30 November 2011

Foto Kegiatan Md Al Yaqin



Selasa, 09 Agustus 2011

Fiqih Shiyam (Bag 3 )

Fiqih Shiyam (Bagian ke-3)

Oleh: Tim Kajian Manhaj Tarbiyah


Ilustrasi (ramadhaniricky.blogspot.com)
dakwatuna.com - Ini adalah kelanjutan dari materi sebelumnya yang telah membahas: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 183-187, Ta’rif Shiyam dan Masyru’iyyahnya, Syarat-syarat shiyam, Furudhusshiyam (rukun siyam), Furudhusshiyam (rukun shiyam), dan Hukum Berbuka di Bulan Ramadhan. Kali ini akan dibahas mengenai mengqadha puasa yang terlewatkan, Mubahatushshiyam, serta Adab dan Sunnah Puasa. Selamat menyimak.
6. Mengqadha Puasa yang Terlewatkan
Mengqadha puasa yang ditinggalkan adalah kewajiban yang longgar, sehingga bertemu dengan Ramadhan berikutnya menurut kesepakatan ulama. Mengqadha puasa jumlahnya sama dengan puasa yang ditinggalkan, orang yang meninggalkan tiga hari puasa ia wajib mengqadha tiga hari pula. Ia tidak diharuskan bersambung dalam mengqadha’nya, boleh puasa tiga hari dengan terpisah-pisah, akan tetapi bersambung lebih utama, karena lebih menyerupai puasa Ramadhan.
Dan jika sudah masuk Ramadhan berikutnya dan belum mengqadha’ karena udzur, maka ia mengakhirkan qadha’nya setelah melaksanakan Ramadhan tahun itu tanpa ada tambahan fidyah. Tetapi jika penundaan itu tanpa ada udzur ia wajib mengqadha setelah Ramadhan dan membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin untuk setiap hari puasa.
Jika seseorang meninggal dengan berutang puasa, maka disunnahkan bagi walinya untuk berpuasa menggantikannya, sesuai dengan hadits: “Barang siapa yang mati dan ia berkewajiban puasa, maka walinya yang menggantikan puasanya”. HR. Asysyaikhani. Menurut mazhab Syafi’i wali dari mayit itu dipersilakan memilih antara puasa dan fidyah. Sedangkan menurut jumhur ulama, yaitu dengan memberi makan seorang miskin untuk setiap harinya, sesuai dengan hadits: “Barang siapa mati dan ia berutang puasa, maka diganti dengan memberi makan seorang miskin setiap harinya”. HR At Tirmidzi, mauquf Ibnu Umar.
7. Mubahatushshiyam
Orang yang sedang berpuasa diperbolehkan melakukan hal-hal berikut ini:
  1. Masuk ke air, berendam di dalamnya, mandi. Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw menuangkan air ke atas kepalanya sedang ia berpuasa karena haus dan panas” HR. Ahmad, Malik, Abu Daud dengan sanad shahih. Jika masuk air ke dalam rongga tanpa sengaja, maka puasanya tetap sah, menyerupai orang yang lupa.
  2. Mengenakan sipat mata dan meneteskan obat mata, meskipun ada rasa pahit di tenggorokan, sebab mata bukanlah saluran ke dalam rongga. Demikian juga tetes telinga. Sedang yang masuk melalui mulut dan telinga maka itu membatalkan.
  3. Berkumur dan mengisap air hidung dengan tidak ditekan, dan jika ada air yang tanpa sengaja masuk rongga tidak membatalkannya, karena serupa dengan orang yang lupa.
  4. Mencium istri bagi orang yang mampu menahan diri. Tidak dibedakan antara orang tua atau muda, sebab yang penting adalah kemampuan mengendalikan diri, barang siapa yang biasanya tergerak nafsunya ketika mencium maka makruh baginya. Dalam hadits shahih disebutkan bahwa Rasulullah saw mencium istrinya sedang ia berpuasa. (Muttafaq alaih). Dan sesungguhnya Umar ibnul Khaththab RA suatu hari mencium istrinya, kemudian menemui Rasulullah saw dan menyatakan: Hari ini aku melakukan dosa besar, aku mencium istriku sedang aku berpuasa. Rasulullah bertanya: Bagaimana pendapatmu jika engkau berkumur dengan air sedang engkau berpuasa? Umar menjawab: Tidak apa-apa. Sabda Nabi: Lalu mengapa dengan mencium (kenapa bertanya?) HR Ahmad dan Abu Daud.
  5. Bekam, yaitu mengambil darah dari kepala, atau dari organ tubuh lainnya. Rasulullah saw seperti yang diriwayatkan Al Bukhari: melakukan bekam dalam keadaan puasa.  Namun jika bekam membuat yang berpuasa lemah, maka hukumnya makruh.
  6. Menggunakan suntikan untuk mengeluarkan kotoran tubuh, karena yang masuk ke dalam tubuh adalah obat bukan makanan, di samping masuknya juga bukan dari saluran yang normal.
  7. Diperbolehkan bagi yang berpuasa menghirup sesuatu yang tak terhindarkan seperti keringat, debu jalanan, sebagaimana aroma sedap yang lain. Diperbolehkan pula dalam keadaan darurat untuk mencicipi makanan, kemudian mengeluarkannya sehingga tidak masuk ke dalam rongga.
  8. Diperbolehkan pula bagi orang yang berpuasa bangun tidur dalam keadaan junub karena mimpi atau hubungan suami istri. Namun yang utama mandi terlebih dahulu setelah berhubungan sebelum tidur. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Aisyah dan Ummu Salamah RA Bahwasanya Rasulullah saw pernah bangun pagi dalam keadaan junub kemudian mandi dan berpuasa. Hadits Muttafaq alaih.
  9. Diperbolehkan meneruskan makan sehingga terbit fajar, dan ketika sudah terbit fajar dan masih ada makanan di mulut maka harus dikeluarkan. Jika demikian sah puasanya, namun jika dengan sengaja ia telah yang ada di mulutnya maka batal puasanya. Dan yang lebih utama berhenti makan sebelum terbit fajar.
8. Adab dan Sunnah Puasa
  1. Sahur. Rasulullah saw bersabda: Bersahurlah, karena sahur itu ada berkahnya. Hadits Muttafaq alaih. Dan sudah dianggap sahur meskipun hanya dengan seteguk air. Waktu sahur dimulai dari sejak tengah malam sampai terbit fajar, dan disunnahkan mengakhirkannya.
  2. Menyegerakan berbuka setelah terbukti Maghrib, disunnahkan berbuka dengan kurma segar atau kurma matang dengan bilangan ganjil. Jika tidak ada maka dengan air putih, kemudian shalat Maghrib, setelah itu dilanjutkan dengan meneruskan makanan yang diinginkan, kecuali jika makanan sudah tersaji maka tidak apa-apa jika makan dahulu baru kemudian shalat.
  3. berdoa ketika berbuka dengan doa Rasulullah saw “ Dahaga telah sirna, keringat telah membasah, dan pahala telah didapat Insya Allah” HR Abu Daud dan An Nasa’i, di samping doa makan yang sudah terkenal: Ya Allah berkahilah bagi kami pada rezki yang Kau berikan pada kami, dan jagalah kami dari siksa neraka” HR Ibnu As Sinniy
  4. Meninggalkan hal-hal yang akan menghilangkan nilai puasa seperti berdusta, bergunjing, adu domba, berbicara sia-sia dan jorok, serta larangan-larangan Islam lainnya sehingga terbentuk ketaqwaan, inilah tujuan puasa. Rasulullah saw bersabda: Tidaklah puasa itu hanya dengan meninggalkan makan dan minum, tetapi puasa itu dari perkataan sia-sia dan jorok. Dan jika ada yang memakimu maka katakan: Sesungguhnya aku sedang puasa. HR Hakim dll. Dan di kesempatan lain Nabi bersabda: Barang siapa yang tidak bisa meninggalkan ucapan dan perbuatan dusta maka Allah tidak membutuhkan ia tinggalkan makan dan minumnya. HR Al Jamaah, kecuali Muslim
  5. Memperbanyak amal shalih terutama tilawah Al Qur’an dan infaq fii sabilillah. Rasulullah adalah orang yang paling dermawan, dan lebih dermawan lagi jika di bulan Ramadhan, ketika berjumpa dengan Jibril, yang menemuinya setiap malam bulan Ramadhan untuk mengulang bacaan Al Qur’an” HR Asy Syaikhani
  6. Bersungguh-sungguh dalam beribadah, memelihara sunnah, terutama shalat tarawih, sabda Rasulullah: Barang siapa yang melaksanakan qiyam Ramadhan dengan iman dan berharap Allah, maka akan diampuni dosanya yang telah berlalu” Muttafaq alaih
  7. Memelihara siwak,[1] sesuai dengan hadits Amir ibn rabi’ah berkata: Aku melihat tak terhitung bersiwaknya sedang ia dalam keadaan berpuasa. HR Al Bukhari
  8. Meninggalkan hal-hal mubah yang telah disebutkan di atas kecuali dalam keadaan darurat, terutama bekam, mencicipi makanan, dan menunda mandi junub hingga setelah fajar.


Catatan Kaki:
[1] menurut Syafiiyyah, bersiwak setelah matahari bergeser (Zhuhur) hukumnya makruh karena hadits : Sungguh bau mulut orang yang berpuasa itu lebih harum dari pada misk.
– Bersambung
(hdn)

Fiqih Shiyam (Bag 2)

Fiqih Shiyam (Bagian ke-2)




Ilustrasi - Ramadhan (inet)
dakwatuna.com - Ini adalah kelanjutan dari materi sebelumnya yang telah membahas: Tafsir Suarat Al Baqarah Ayat 183-187, Ta’rif Shiyam dan Masyru’iyyahnya, Syarat-syarat shiyam, dan Furudhusshiyam (rukun siyam). Kali ini akan dibahas mengenai Furudhusshiyam (rukun shiyam), dan Hukum Berbuka di Bulan Ramadhan. Selamat menyimak.
4. Furudhusshiyam (rukun shiyam)
a. Niat, karena niatlah yang membedakan antara ibadah dengan selainnya.
Tidak disyaratkan melafalkan niat, karena niat terletak dalam hati, maka barang siapa yang makan sahur untuk puasa, ia telah dianggap orang berniat puasa, dan barang siapa yang berazam meninggalkan hal-hal yang membatalkan puasa karena Allah, maka azamnya itu adalah niat. Waktu niat ada di sepanjang malam sehingga terbit fajar. Hal ini berlaku untuk puasa Ramadhan dan qadha puasa Ramadhan di hari lain, puasa nazar, puasa kifarat. Maka ketika sudah terbit fajar dan belum niat puasa, puasanya tidak sah. [1] Hal ini didasarkan pada hadits Hafshah ra berkata, Rasulullah saw bersabda:
“Barang siapa yang tidak mengumpulkan niat puasa sebelum fajar, maka tidak sah puasanya.” (HR. Ahmad dan Ashabussunan, dishahihkan oleh Ibnu Huzaimah dan Ibnu Hibban)
Sedangkan untuk puasa sunnah maka disahkan berniat sebelum matahari bergeser (Zhuhur) menurut Hanafi dan Syafii. Didasarkan pada hadits Aisyah ra, berkata:
“Rasulullah saw suatu hari masuk ke rumahku, dan bertanya: Adakah kamu punya sesuatu? Saya jawab: Tidak ada. Nabi bersabda: Maka aku berpuasa.” (HR Muslim dan Abu Daud)
b. Meninggalkan hal-hal yang membatalkan sejak terbit fajar sampai terbenam matahari. Dan yang membatalkannya ada empat macam:
i. Segala sesuatu yang masuk ke dalam rongga melewati mulut, berupa makanan atau minuman yang menjadi konsumsi fisik atau tidak menjadi konsumsi fisik. Sedangkan yang menjadi konsumsi fisik tapi tidak masuk melalui mulut, seperti jarum infus dll, dianggap tidak membatalkan puasa.
ii. Sengaja muntah, sedang yang tidak sengaja maka tidak membatalkan. Rasulullah saw bersabda:
“Barang siapa yang terpaksa muntah, maka ia tidak wajib qadha’ sedangkan yang sengaja maka ia wajib qadha’.” (HR. Ahmad, Abu Daud, At Tirmidzi, Ibnu Hibban AD Dari Quthni dan Al Hakim)
iii. istimna’, yaitu sengaja mengeluarkan sperma, baik karena ciuman dengan istri, atau sentuhan tangan maka hukumnya batal. Sedangkan jika karena melihat saja, atau berfikir saja maka tidak membatalkan. Demikian juga keluarnya madzi, tidak mempengaruhi puasa.
iv. al jima’, karena Allah SWT berfirman tidak memperbolehkannya kecuali di waktu malam. Surat Al-Baqarah ayat 187:
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَائِكُمْ ۚ هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ ۗ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنتُمْ تَخْتَانُونَ أَنفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنكُمْ ۖ
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu.” (QS. Al-Baqarah: 187)
Semua hal yang membatalkan ini disyaratkan harus dilakukan dengan ingat jika ia sedang berpuasa. Maka jika ia makan, minum, istimna’ atau muntah, atau berhubungan suami istri dalam keadaan lupa maka tidak membatalkan puasanya, baik dalam bulan Ramadhan atau di luar Ramadhan. Baik dalam puasa wajib atau puasa sunnah, karena Rasulullah saw bersabda:
“Barang siapa lupa ia sedang puasa, lalu ia makan atau minum, maka hendaklah ia sempurnakan puasanya, karena Allah yang memberinya makan dan minum.” (HR Al jama’ah)
5. Hukum Berbuka di Bulan Ramadhan
Berbuka di bulan Ramadhan dapat digolongkan dalam enam macam:
a. Wajib berbuka atas orang yang haidh atau nifas, bahkan ia haram puasa, dan wajib qadha saja. Artinya ia wajib puasa menggantikan hari-hari yang ditinggalkan. Aisyah RA berkata:
“Kami haidh di masa Rasulullah SAW, lalu kami disuruh mengqadha puasa, dan tidak disuruh mengqadha’ shalat”. (HR. Al Bukhari dan Muslim)
b. Diperbolehkan berbuka bagi orang yang sakit dan musafir. Keduanya hanya wajib qadha. Sedangkan puasa dalam perjalanan lebih diutamakan jika tidak membahayakan yang bersangkutan, tetapi jika membahayakan, maka berbuka lebih baik baginya. Abu Said Al Khudzriy RA meriwayatkan:
“Kami berperang bersama Rasulullah SAW di bulan Ramadhan, di antara kami ada yang berpuasa, dan di antara kami ada pula yang tidak berpuasa, dan orang yang puasa tidak mencela yang tidak berpuasa, dan yang tidak berpuasa juga tidak mencela yang berpuasa. Bagi yang mampu dan berpuasa maka itu baik baginya, dan yang lemah lalu berbuka maka itu baik baginya.” (HR. Ahmad dan Muslim)
Syarat diperbolehkan puasa di perjalanan hendaklah jaraknya sejarak diperbolehkan mengqashar shalat, dan berangkat sebelum fajar. Jika ia mukim dan telah niat puasa, terbit fajar di tempatnya lalu ia bepergian, maka ia tidak boleh berbuka. Sedang jika ia musafir, lalu niat puasa dari malam, kemudian ia ingin berbuka di siang hari, maka hal itu diperbolehkan baginya. Sedangkan bagi orang sakit yang dengan puasa menambah sakitnya, atau lambat sembuhnya, jika ia puasa, sah puasanya tapi makruh, karena ia meninggalkan rukhshah yang Allah cintai. Sedang wanita hamil dan menyusui keduanya boleh berbuka, dan hanya wajib qadha saja, dianalogikan dengan orang yang sakit.
c. Diperbolehkan berbuka bagi orang tua dan orang sakit yang sudah tidak ada harapan sembuh, keduanya tidak wajib qadha’ hanya wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkan. Sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA berkata:
“Diberikan rukhshah bagi orang tua untuk berbuka dan ia memberi makan setiap harinya pada seorang miskin dan tidak ada qadha atasnya”. (HR Ad Daruquthniy, Al Hakim, dan keduanya menshahihkannya)
d. Orang yang dengan sengaja tidak dengan berhubungan suami istri, seperti orang yang makan, minum, sengaja muntah, atau keluar mani, demikian juga orang yang berbuka tanpa sengaja seperti orang yang menduga bahwa fajar belum terbit, lalu ia sahur, kemudian ternyata fajar telah terbit. Atau orang yang menduga telah terbenam matahari lalu ia makan, ternyata matahari belum terbenam, atau orang yang pingsan. Semuanya wajib qadha tanpa kifarat. Berbeda dengan orang yang makan karena lupa yang tidak wajib qadha. Orang yang berbuka tanpa sengaja ia tidak berdosa, sedangkan orang yang sengaja berbuka maka dosanya sangat besar, seperti sabda Rasulullah SAW:
“Barang siapa yang berbuka satu hari dari bulan Ramadhan, tidak bisa digantikannya puasa setahun penuh, meskipun ia berpuasa.” (HR. Ahmad dan Ad Darimiy)
e. barang siapa yang berhubungan suami istri dengan sengaja , maka ia wajib menahan diri pada sisa hari itu, mengqadha, dan kifarat atas yang laki-laki (sesuai dengan kesepakatan ulama), perbedaan pendapat terjadi tentang kifarat, apakah wajib atas wanita atau tidak? Wajib atas wanita pula menurut mazhab Hanafi, tidak wajib menurut Syafi’i.
Kifaratnya adalah memerdekakan budak wanita, jika tidak mampu maka berpuasa dua bulan berturut-turut, jika tidak mampu maka memberi makan enam puluh orang miskin dengan makanan sedang yang biasa diberikan untuk keluarganya. Berurutan dalam penerapan kifarat adalah sesuatu yang wajib menurut jumhurul ulama. Tidak boleh menggunakan kifarat kedua kecuali jika tidak mampu kifarat yang pertama. Sesuai dengan hadits masyhur ini. Bahwa seseorang datang kepada Nabi Muhammad SAW lalu berkata:
“Aku telah binasa Ya Rasulullah. Nabi bertanya : Apa yang membinasakanmu? Ia menjawab: Aku jatuh di atas istriku pada bulan Ramadhan. Nabi bertanya: Adakah budak yang kau bisa merdekakan? Ia menjawab: Tidak ada. Nabi bertanya lagi: Mampukah kau berpuasa dua bulan berturut-turut? Ia menjawab: Tidak. Nabi bertanya lagi: Adakah yang bisa kau gunakan memberi makan enam puluh orang miskin? Ia menjawab: Tidak. Kemudian ia duduk. Lalu Rasulullah datang dengan membawa segantang kurma, dan bersabda: Bersedekahlah dengannya! Ia bertanya: Kepada yang lebih miskin dari kami? Karena tidak ada orang yang tinggal di antara dua batu ini (Madinah) lebih membutuhkannya daripada kami. Rasulullah kemudian tersenyum sehingga tampak gigi taringnya dan bersabda: Pulanglah dan berikan makan keluargamu”. (HR. Al Jama’ah)
Dan orang yang berulang-ulang melakukan hubungan suami istri dalam sehari, ia hanya wajib membayar kifar sekali. Sedang yang mengulanginya di hari lain maka setiap hari satu kifarat, kecuali menurut mazhab Hanafi yang hanya mewajibkan sekali kifarat, kecuali jika sudah membayar kifarat lalu mengulang lagi, maka ia wajib kifarat lagi, meskipun masih di bulan Ramadhan yang sama.
f. orang gila sehingga sembuh, anak kecil sehingga baligh, dan orang kafir sehingga muslim, mereka tidak wajib qadha tidak juga fidyah.

Catatan Kaki:
[1] Menurut madzhab Hanafi, disahkan niat puasa bulan Ramadhan setelah terbit fajar sebelum zuhur, dan yang afdhal dilakukan sejak malam
– Bersambung

Fiqih Shiyam (Bag 1)

Fiqih Shiyam (Bagian ke-1)

Oleh: Tim Kajian Manhaj Tarbiyah

Kirim Print
I. Ketentuan Puasa
A. Terjemah Surat Al- Baqarah ayat 183-184
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ﴿١٨٣﴾أَيَّامًا مَّعْدُودَاتٍ ۚ فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۚ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ ۖ فَمَن تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَّهُ ۚ وَأَن تَصُومُوا خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ﴿١٨٤﴾
Hai Orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa. (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa)  sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barang siapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (QS. Al-Baqarah: 183-184)
B. Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 183-187
1. Mufradat:
كتبَ عليكم
Diwajibkan atas kamu semua
أياماً معدودات
Bulan Ramadhan
فعدَّةٌ
Yang wajib baginya adalah puasa setelah Ramadhan sejumlah hari yang ditinggalkan selama Ramadhan
يطيقونه
Mampu berpuasa dengan berat, atau tidak mampu sama sekali seperti orang tua dan ibu hamil dan menyusui
فِديَة
Berbuka dan membayar fidyah, yaitu memberi makan seorangmenambahkan makanan, atau berpuasa dan memberi makan
yang membedakan antara hak dan bathil
فِديَة
Bekal dalam memberi makan, atau puasa sambil memberi makan
الفرقان
apa yang dapat membedakan antara yang haq dan batil.
فمن شهدَ منكم الشهرَ
barang siapa yang datang Ramadhan sedang ia dalam keadaan mukim, bukan musafir berakal dan sudah baligh
ولتُكملوا العِدّة
agar kau sempurnakan puasa Ramadhan, dengan berpuasa menggantikan hari-hari yang kau tinggalkan setelah bulan Ramadhan
الرفَثُ إلى نسائكم
bahasa halus dari hubungan suami istri
تختانون أنفُسَكم
menganggapnya berkhianat, karena ingin makan, minum dan berhubungan suami istri di waktu malam, padahal itu haram
فتابَ عليكم
telah diringankan beban berat ini
باشروهن
kata lain dari hubungan suami istri
وابتغوا
carilah
حتى يتبيَّن لكم الخيط الأبيض من الخيط الأسودputihnya siang dan hitamnya malam
إلى الليل
sehingga terbenam matahari
عاكفون
dalam keadaan beri’tikaf. Arti I’tikaf: diam di masjid dengan niat beribadah, orang yang beri’tikaf tidak diperbolehkan berhubungan suami istri


Ilustrasi (inet)
2. Ta’rif  Shiyam dan Masyru’iyyahnya
Shiyam adalah menahan diri dari hal-hal yang membatalkan sejak terbit fajar sampai terbenam matahari disertai dengan niat. Allah mewajibkan puasa Ramadhan kepada kaum muslimin ini pada tahun kedua hijriyah, tanggal 2 Sya’ban.
Hukum shiyam ini disampaikan dalam tiga tahap, yaitu:
Tahap pertama: Puasa diwajibkan dengan pilihan, siapa yang mau berpuasa dipersilakan dan siapa yang tidak mau dipersilakan pula, meskipun mampu, dengan membayar fidyah. Itulah firman Allah: QS. 2: 184, artinya Bagi orang yang tidak mampu puasa dan tidak berpuasa, ia wajib memberi makan seorang miskin, menggantikan puasa sehari
Tahap Kedua: puasa diwajibkan tanpa pilihan, dan diberikan rukhshah bagi orang yang sakit. Musafir berbuka dan berpuasa setelah Ramadhan menggantikan hari yang ditinggalkan. Itulah firman Allah: QS. 2: 185
Tahap Ketiga: diperbolehkan makan minum dan hubungan suami istri, sejak terbenam matahari hingga terbit fajar hari berikutnya. Pada dua marhalah sebelumnya jika orang yang berpuasa sudah tidur maka ia haram makan minum dan hubungan suami istri sampai hari berikutnya, sehingga hal ini memberatkan kaum muslimin, maka turunlah ayat QS.2:187 Dihalalkan bagimu……sampai firman Allah…dan makan minumlah sehingga jelas bagimu benang putih dari benang merah…
Ulama Islam telah berijma tentang kewajiban puasa di bulan Ramadhan, yang merupakan salah satu rukun Islam, dan mengingkarinya dianggap murtad.
3. Syarat-syarat shiyam
Syarat shiyam ada dua macam yaitu:
  1. syarat wajib shiyam, artinya syarat yang membuat puasa wajib bagi seseorang, yaitu: Islam, Mukallaf (akil baligh) dan mampu berpuasa. Puasa tidak diwajibkan pada yang tidak muslim, tidak wajib pula pada muslim yang belum mukallaf, seperti orang gila, anak-anak, walaupun anak-anak disuruh puasa sebagai latihan, bahkan dipukul jika tidak puasa ketika sudah berusia 10 tahun, dan telah dianggap shah puasanya ketika sudah masuk usia mumayyiz (kurang lebih tujuh tahun). Sebagaimana tidak wajib puasa atas orang yang tidak mampu sama sekali, seperti orang tua, orang sakit berat, hanya wajib fidyah.
  2. syarat pelaksanaan atau keabsahan. Yaitu syarat yang harus dipenuhi agar puasanya sah dan diterima, yaitu: Islam, Mumayyiz (bagi anak-anak) bersih dari haidh dan nifas. Orang yang sedang haidh dan nifas wajib berpuasa, tapi tidak sah puasanya sehingga keduanya bersuci, keduanya tidak puasa selama masa haidh dan nifasnya, sehingga ketika keduanya suci ia wajib puasa menggantikan hari yang ditinggalkan. Sebagaimana disyaratkan bagi sahnya puasa itu, harus pada hari-hari yang tidak dilarang berpuasa, seperti hari ied dll.
– Bersambung

Senin, 25 Juli 2011

EKSISTENSI MADRASAH DI ERA MODERN

Masyarakat kita saat ini sudah modern dan maju dalam banyak segi kehidupan terutama sosial budaya. Saat ini tolak ukur masyarakat dalam memandang nilai-nilai budaya sudah semakin jelas dan mengerucut pada pemenuhan kebutuhan material semata yang dalam hal ini diwakili oleh atau atas nama kepentingan ’ekonomi’. Padahal sejujurnya dan yang selalu kita dengung-dengungkan bahwa bangsa kita adalah bangsa yang bermoral, beradab dan berbudaya, atau lebih tegasnya bangsa yang religius. Ini tampak jelas pada sila pertama dan kedua dalam Pancasila yang merupakan dasar negara ini.
Di era yang sudah modern ini, madrasah sebagai lembaga pendidikan yang mengedepankan moralitas dan nilai-nilai keagamaan sebagai basis konsentrasi pengembangan pendidikannya masih dipandang sebelah mata oleh kebanyakan masyarakat kita, mereka lebih memilih untuk menyekolahkan putra-putri mereka di sekolah umum yang dianggap lebih jelas dan lebih terarah tujuan pendidikannya. Lemahnya eksistensi madrasah atau pendidikan keagamaan pada umumnya merupakan sebuah akibat dari kelemahan sistemik yang dibangun oleh negara ini pada sektor pendidikan. Merujuk pada akar sejarah munculnya madrasah adalah sebagai reaksi atas pola pendidikan yang dibangun oleh pemerintahan Belanda di zaman penjajahan, maka sudah seharusnya kita merefleksikan kembali spirit tersebut dalam mengembangkan madrasah. Dengan tugas utama meraih kembali citra positif sebagai model pendidikan lokal yang kental dengan nuansa lokal dan tentunya seiring sejalan dengan karakter kebangsaan Indonesia sebagai bangsa yang bermoral. Karena pendidikan pada hakikatnya adalah proses pembentukan watak individu, maka lembaga pendidikan sudah semestinya menjadi lingkungan positif bagi pertumbuhan watak generasi bangsa ini, bukan semata menjadi training center untuk memenuhi kebutuhan industri atau lapangan pekerjaan yang juga belum cukup signifikan keberadaannya sebagai penopang struktur ekonomi kebangsaan.
Medidik generasi adalah merencanakan apa dan bagaimana bentuk generasi mendatang serta disesuaikan dengan kebutuhan zaman. Berangkat dari cita-cita pembentukan negara ini demikianlah seharusnya generasi bangsa diproses dalam dunia pendidikan yang melliputi pembentukan karakter, pengembangan potensi, dan eksplorasi sumberdaya manusia. Tiga tahapan inilah yang seharusnya diletakkan secara simbang satu sama lain dalam rangka memenuhi keseimbangan unsur pendidikan rohani dan jasmani, pendidikan ukhrowi dan duniawi.
Saat ini jika kita kembali pada kenyataan bahwa madrasah kita masih memiliki banyak kesan ’negatif’ dalam perspektif masyarakat modern, maka perlu kita rumuskan kembali pengertian modernitas dalam perspektif pendidikan untuk kemudian mengaransemen kembali tata laksana pendidikan yang seharusnya diterapkan bagi generasi kita, khususnya pendidikan keagamaan sebagai basis ide model pendidikan madrasah.
Beberapa konsep pengembangan yang pada mulanya menjadi ciri khas dari madrasah saat ini perlahan hilang dan beralihdengan sedikit modifikasi menjadi ciri sekolah-sekolah yang mengambil klaim umum, hal ini disadari atau tidak bukan semata mengakibatkan degradasi nilai madrasah akan tetapi juga mengikis keabsahan madrasah sebagai cikal bakal model pendidikan yang secara historis melekat dengan bangsa Indonesia, karena madrasah bukan ciptaan Belanda dan juga bukan buatan Jepang tetapi hasil ijtihad para ulama madrasah dalam menjembatani kepentingan masyarakat dengan dunia pendidikan dan pemerintah pada saat itu. Atau setidaknya kalaupun model madrasah akan tetap bertahan dalam desakan modernitas sosial dan budaya masyarakat maka nilai-nilai keagamaan yang menjadi landasan utama kurikulum madrasah akan terdegradasi.
Di antara dua sisi kecenderungan inilah kondisi madrasah saat ini mengikuti perubahan mutlak dan tercerabut dari akar historisnya atau bertahan dan tertinggal dari model pendidikan lainnya karena dianggap tidak mampu merespon kebutuhan masyarakat modern. Mengingat betapa kuatnya tarikan ideologis antar keduanya dan untuk tidak kembali terjebak pada perseteruan ide yang tidak produktif, madrasah harus bisa diposisikan sebagai institusi netral yang tidak terbebani oleh hegemoni masa lalu dan juga kepentingan modernitas. Kebijakan dan langkah-langkah yang diambil oleh semua pihak baik pemerintah ataupun pengelola harus dilakukan dalam koridor penguatan internal kelembagaan sebagai modal dasar penguatan basis ide dan konseptualisasi model pengembangan madrasah.

Dengan mengangkat kesadaran akan urgensi madrasah sebagai model pendidikan moralitas bangsa yang kian kering di era modern ini sekaligus benteng pembentukan karakter generasi masa depan sudah seharusnya ini menjadi agenda strategis dalam konsep pendidikan bangsa ini, yaitu dengan memposisikan madrasah sejajar dengan model pendidikan umum dalam undang-undang negara sehingga kemudian diharapkan akan berproses menuju penemuan kemballi makna yang hilang dari madrasah sebagai institusi pendidikan yang mengakar di masyarakat, mewakili kepentingan masyarakat dan juga menjadi kebanggaan masyarakat.

Minggu, 24 Juli 2011

ORIENTASI PENDIDIKAN KEAGAMAAN HARUS SEIMBANG

Dalam pandangan Islam ada tiga istilah yang terkait dengan konotasi pendidikan yaitu, ta’lim, ta’dib dan tarbiyah, masing-masing istilah ini memiliki arti dan makna yang berbeda-beda, namun ketiganya bermuara pada konsep dasar pendidikan yaitu sebagai upaya untuk mempersiapkan generasi mendatang untuk menjalankan kehidupan dan memenuhi tujuan hidupnya secara efektif dan efisien. Dari ketiga istilah tersebut di Indonesia, kata tarbiyah mungkin lebih populer sebagai pendidikan dari pada ta’lim dan ta’dib. Ini terlihat pada kebanyakan nama lembaga yang bergerak di bidang pendidikan menggunakan kata tarbiyah sedangkan majelis ta’lim misalnya lebih mewakili pada lembaga-lembaga yang bergerak di bidang dakwah.

Dalam konteks kekinian dan realitas keindonesiaan, pendidikan Islam atau tarbiyah al-islamiyah setidaknya terdapat tiga jenis, pertama, pendidikan keagamaan, artinya Islam diletakkan dalam posisi sebagai bidang studi (mata pelajaran) yang sejajar dengan bidang studi lainnya yang bukan kategori keagamaan, ini terlihat pada bentuk sekolah-sekolah umum. Kedua, sebagai sebuah model pendidikan yang juga dicerminkan dalam nama lembaga dan kegiatan-kegiatannya (sekolah Islam), sedangkan yang ketiga, sebagai antithesis dari keduanya yaitu sebagai pendidikan keagamaan dan sekaligus menerapkannya sebagai model pendidikan (pendidikan diniyah dan pondok pesantren).
Dalam pendidikan Islam, tujuan tidak sekedar menyangkut persoalan ciri khas, melainkan lebih mendasar lagi, yaitu sesuatu yang diidamkan dan diyakini sebagai yang paling ideal. Atau dalam pembahasan filsafatnya diistilahkan sebagai “insan kamil“ atau manusia paripurna. Hal ini dapat terwujud dengan upaya mengembangkan kepribadian manusia yang bersifat menyeluruh secara harmonis berdasarkan potensi psikologis dan fisiologis. Sangat penting bagi kita untuk merumuskan tujuan dalam proses pendidikan, agar dapat menetapkan langkah-langkah yang akan dijalani selama proses itu berlangsung. Dalam Islam, tujuan pendidikan dengan jelas mengarah kepada terbentuknya insan kamil seorang muslim yang teguh dalam menjalankan agama dan nemiliki kecerdasan yang tinggi serta akhlaq dan budi pekerti yang luhur dalam bergaul dengan sesama manusia atau yang biasa kita kenal dengan kecerdasan IQ, EQ dan SQ.
Keseimbangan antara Dunia dan Ukhrowi
Bertolak dari rumusan tujuan pendidikan di atas, maka sistem pendidikan berorientasi pada persoalan dunia dan akhirat sekaligus. Meskipun dalam prakteknya cukup banyak lembaga-lembaga Islam yang cenderung mementingkan dimensi keakhiratan semata, dari pada keduaniawian. Ini terjadi karena kehidupan ukhrowi dipandang sebagai kehidupan yang sesungguhnya dan terakhir, sedangkan kehidupan duniawi bersifat sementara, bukan yang terakhir. Namun demikian, pada dasarnya pendidikan Islam memperhatikan keseimbangan dua kehidupan tersebut dan tidak bisa diabaikan begitu saja. Aspek keduniawian, karena sebagai manusia yang mengemban tugas kekhalifahan di muka bumi ini harus pula membekali dengan ilmu-ilmu keduniawian dan perkembangannya sehinggga dapat memenuhi tugas itu secara maksimal.
Dikotomi antara dunia dan akhirat, dikotomi antara unsur-unsur kebendaan dan unsur agama, materialisme dan orientasi nilai-nilai ilahiah semata, justru akan melahirkan manusia yang berkepribadian terbelah (split personality). Mereka yang memilih keberhasilan di alam ‘vertikal’ cenderung berfikir bahwa kesuksesan dunia justru adalah sesuatu yang bisa “dinisbikan” atau sesuatu yang bisa demikian mudahnya “dimarjinalkan”. Hasilnya mereka unggul dalam kekhusyuan dzikir dan kekhidmatan berkontemplasi namun kalah dalam percaturan ilmu pengetahuan, ekonomi, sosial, politik dan kebudayaan di alam “horizontal”, begitupun sebaliknya yang hanya berpijak pada alam kebendaan, kekuatan berfikirnya tidak pernah diimbangi dengan kekuatan dzikir. Realitas kebendaan yang masih membelenggu hati, tidak memudahkan baginya untuk berpijak pada alam fitrahnya (zero mind), padahal sistem pendidikan Islam menekankan pada pembentukan kepribadian yang berujung pada fitrah dasar manusia untuk ma’rifah Allah dan bertaqwa kepada-Nya, seperti diungkapkan oleh Muhammad Fadhil Al-Jumaly yang dikutip oleh Mastuhu, menunjukkan keterikatan duniawiyah dan ukhrowiyah sekaligus.
Karena itu, salah satu prinsip sistem pendidikan Islam adalah keharusan untuk menggunakan metode pendekatan yang menyeluruh terhadap manusia yang meliputi dimensi jasmani-rohani dan semua aspek kehidupan, baik yang dapat dijangkau akal maupun yang hanya diimani melalui kalbu, bukan hanya lahiriyahnya saja tetapi juga batiniyahnya.
Perpaduan antara Ranah Kognitif, Afektif dan Psikomotorik
Hakekat pendidikan adalah suatu usaha mengantarkan peserta didik untuk dapat menggali potensi dirinya menjadi suatu realitas yang real. Oleh karena itu, kegiatan dan proses belajar-mengajar dalam suatu pendidikan adalah penumbuhan dan pengembangan peserta didik sesuai dengan hakekat potensialnya tersebut. Dalam pengembangan potensi-potensi yang ada pada diri peserta didik, dipahami bahwa suatu pendidikan yang baik harus menjawab tiga ranah kemanusiaan yakni ranah kognitif (intelektual), ranah afektif (emosional), dan ranah psikomotorik (pengamalan). Tidak ada proses pendidikan yang dianggap sempurna jika meninggalkan salah satu diantara ketiga ranah tersebut. Pendidikan yang hanya cenderung pada ranah kognitif saja akan melahirkan generasi yang genius secara intelektual tetapi kering emosional dan rendah kualitas pengamalannya.
Pengetahuan kognitif dan diikuti kesadaran emosi saja tidak dapat menggali potensi realitas secara optimal, namun harus diikuti dengan penggarapan ranah psikomotorik. Dengan pengetahuan dan kesadaran yang tercipta karena kepemilikan pengetahuan intelektual dan memiliki keinginan untuk berbuat oleh adanya dorongan emosional, tetapi tidak dapat benar-benar terwujud suatu tindakan yang nyata akibat tidak tergarapnya ranah psikomotorik. Penggarapan ranah psikomotorik terkait dengan pengembangan etos kejujuran, kerja keras, profesional, kesopanan, dan sosial-filantropik dalam bentuk disiplin dan latihan-latihan nyata.
Dengan demikian pendidikan Islam, dalam prosesnya, menyertakan program intensif peningkatan intelektual dan menghidupkan aspek spiritual yang akhirnya dapat menjadi modal untuk hidup dalam kebudayaan bangsa yang selalu berkembang seiring pencapaian kemajuan peradaban manusia. [HI]

Madrasah Diniyah: Kesadaran Membangun Masyarakat Religius

Pendidikan keagamaan sebagai sarana bagi penanaman nilai-nilai sosial dan budaya bangsa ini masih cukup relevan dan strategis dalam membangun bangsa ini. Masyarakat Indonesia yang notabene adalah masyarakat religius yang meletakkan agama sebagai referens nilai dan juga dasar pemikiran dalam mengembangkan budaya dan norma-norma kehidupan. Kenyataan ini dapat kita lihat pada bentuk-bentuk tradisi yang selalu diwarnai oleh ritual keagamaan, setidaknya setiap praktek tradisi yang berlangsung dan berkembang di masyarakat kita tidak luput dari untaian do’a dan harapan-harapan yang berlandaskan pada kesadaran spiritual pada tingkatan individu yang kemudian terwarisi turun-temurun dari generasi ke generasi.

Kesadaran spiritual tinggi yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia pulalah yang juga menjadi motivasi dalam proses perebutan hak kemerdekaan bangsa kita dari tangan penjajah, banyak simpul-simpul gerakan kemerdekaan di masa penjajahan yang merupakan tokoh-tokoh keagamaan seperti kiyai dan ulama yang diikuti oleh para murid dan santrinya. Artinya spiritualitas yang dimiliki bangsa ini berhasil membawa pencerahan untuk bangkit dan berdiri melawan segala bentuk penindasan di masa penjajahan. Kenyataan yang cukup kontradiktif dengan hal itu saat ini terjadi pada bangsa kita di era modern. Moderrnitas pada tahap yang sudah nyata saat ini telah mampu menggeser nilai-nilai spiritualitas yang merupakan kekuatan moral masyarakat, rasiionalisme yang berkembang dalam bentuk pencapaian-pencapaian kebutuhan materil telah menggantikan kepuasan batin dalam sosok individu-individu manusia Indonesia.
Dalam banyak pembahasan kesadaran akan pentingnya penanaman nilai-nilai keagamaan memang mendapatkan perhatian serius, hal ini tak lain karena realitas kekinian yang semakin mengkhawatirkan khususnya di kalangan generasi muda kita, persoalan yang muncul semakin kompleks karena konteks sosial yang juga rumit untuk dipahami dalam pola fikir mereka, fenomena tawuran pelajar, kasus-kasus narkoba, kebebasan seksual dan gaya hidup metropolis lainnya semakin dekat dengan generasi muda kita, bukan hanya di perkotaan, namun sudah menghilangkan sekat-sekat geografis, keadaan ini semakin hari semakin merata. Kegelisahan dapat kita rasakan, namun akar dari kegelisahan itu masih sulit untuk kita temukan sebagai starting point dalam merangkai kembali jalinan nilai yang memudar perlahan dalam dinamika kehidupan modern yang tak terkendali.
Agama masih kita yakini sebagai solusi dan ini ada dalam benak kejiwaan setiap kita, tetapi sekat yang muncul dari realitas modern kehidupan semakin menjauhkan sistem nilai kita dari norma-norma keagamaan yang kita yakini, dan mengarahkan pola fikir kita pada pemilahan antara kebutuhan riil (duniawi) dan kebutuhan abstrak (ukhrowi). Inilah tantangannya dan demikianlah keadaan batin setiap orang Indonesia di masa kini. Lalu bagaimana kita melangkah dan menentukan arah kebijakan untuk generasi mendatang, sementara hari ini kita tidak mampu menyelesaikan kontradiksi internal pada tataran ideologis yang kita anut.
Madrasah memiliki poin penting untuk diusung sebagai kekuatan dalam menggalang kembali kepercayaan diri bangsa ini untuk mandiri dengan ide-ide dasar kehidupan bangsa yang memang telah dan pernah kita miliki, spritualitas yang termanifestasi dalam prikehidupan sosial dan kemasyarakatan dan tetap menghargai konteks kemajemukan yang kita miliki. Ada beberapa hal yang penting untuk dicatat sebagai potensi ideal yang masih dimiliki oleh madrasah diniyah misalnya, pertama, berangkat dari kebutuhan masyarakat, dikelola dan dikembangkan oleh masyarakat serta selalu bergerak dinamis dalam konteks kemasyarakatannya, artinya integritas ideologis madrasah diniyah betul-betul merepresentasikan sebagai gerakan kemasyarakatan yang masih relatif murni dan terlepas dari kepentingan-kepentingan lain seperti ekonomi dan politik misalnya. Kedua, semua itu terjadi karena orisinalitas ide madrasah diniyah yang memang berakar kuat secara historis pada masyarakat, dan ketiga, keberpihakan pada masyarakat lemah masih dominan dalam visi kemasyarakatan madrasah, sistem administrasi yang meskipun kurang profesional namun sangat toleran terhadap kondisi ekonomi masyarakatnya, SPP yang ringan atau mungkin tidak ada sama sekali (prinsip keikhlasan).
Beberapa poin diatas cukuplah untuk kita menyimpulkan bahwa di tengah modernitas kehidupan bangsa kita ada kerinduan pada hilangnya norma-norma yang menjadi pedoman hidup kita di masa lalu, spiritualitas moralitas dan kerukunan adalah tiga landasan hidup yang mulai memudar dan sering menjadi bencana sosial di lingkungan masyarakat. Dengan mengembalikan ketiga nilai tersebut melalui langkah strategis berupa penguatan internal kelembagaan madrasah semoga kita bisa kembali meraih apa yang telah hilang dari kesadaran kita dan menjadikannya sebagai karakter pribadi bangsa Indonesia yang moralis, mandiri dan dengan kualifikasi Imtaq dan Iptek sesuai dengan slogan yang selalu kita suarakan. Wallahu a’lam….. [HI]

Rabu, 20 Juli 2011

Tentang Madrasah Diniyah

Pengertian Madrasah Diniyah

Sejarah Islam di Indonesia memperlihatkan bahwa pendidikan keagamaan di sini tumbuh dan berkembang seiring dengan dinamika kehidupan masyarakat Muslim. Selama kurun waktu yang panjang, pendidikan keagamaan Islam berjalan secara tradisi, berupa pengajian al-Qur’an dan pengajian kitab, dengan metode yang dikenalkan (terutama di Jawa) dengan nama sorogan, bandongan dan halaqah. Tempat belajar yang digunakan umumnya adalah ruang-ruang masjid atau tempat-tempat shalat “umum” yang dalam istilah setempat disebut: surau, dayah, meunasah, langgar, rangkang, atau mungkin nama lainnya.

Perubahan kelembagaan paling penting terjadi setelah berkembangnya sistem klasikal, yang awalnya diperkenalkan oleh pemerintah kolonial melalui sekolah-sekolah umum yang didirikannya di berbagai wilayah Nusantara. Di Sumatera Barat pendidikan keagamaan klasikal itu dilaporkan dipelopori oleh Zainuddin Labai el-Junusi (1890-1924), yang pada tahun 1915 mendirikan sekolah agama sore yang diberi nama “Madrasah Diniyah” (Diniyah School, al-Madrasah al-Diniyah) (Noer 1991:49; Steenbrink 1986:44). Sistem klasikal seperti rintisan Zainuddin berkembang pula di wilayah Nusantara lainnya, terutama yang mayoritas penduduknya Muslim. Di kemudian hari lembaga-lembaga pendidikan keagamaan itulah yang menjadi cikal bakal dari madrasah-madrasah formal yang berada pada jalur sekolah sekarang. Meskipun sulit untuk memastikan kapan madrasah didirikan dan madrasah mana yang pertama kali berdiri, namun Departemen Agama (dahulu Kementerian Agama) mengakui bahwa setelah Indonesia merdeka sebagian besar sekolah agama berpola madrasah diniyahlah yang berkembang menjadi mad-rasah-madrasah formal (Asrohah 1999:193). Dengan perubahan tersebut berubah pula status kelembagaannya, dari jalur “luar sekolah” yang dikelola penuh oleh masyarakat menjadi “sekolah” di bawah pembinaan Departemen Agama.


Meskipun demikian tercatat masih banyak pula madrasah diniyah yang mempertahankan ciri khasnya yang semula, meskipun dengan status sebagai pendidikan keagamaan luar sekolah. Pada masa yang lebih kemudian, mengacu pada Peraturan Menteri Agama Nomor 13 Tahun 1964, tumbuh pula madrasah-madrasah diniyah tipe baru, sebagai pendidikan tambahan berjenjang bagi murid-murid sekolah umum. Madrasah diniyah itu diatur mengikuti tingkat-tingkat pendi-dikan sekolah umum, yaitu Madrasah Diniyah Awwaliyah untuk murid Sekolah Dasar, Wustha untuk murid Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, dan ‘Ulya untuk murid Sekolah Lanjutan Tingkat Atas. Madrasah diniyah dalam hal itu dipandang sebagai lembaga pendidikan keagamaan klasikal jalur luar sekolah bagi murid-murid sekolah umum. Data EMIS (yang harus diperlakukan sebagai data sementara karena ketepatan-nya dapat dipersoalkan) mencatat jumlah madrasah diniyah di Indonesia pada tahun ajaran 2005/2006 seluruhnya 15.579 buah dengan jumlah murid 1.750.010 orang.

Berdasarkan Undang-undang Pendidikan dan Peraturan Pemerintah. Madrasah Diniyah adalah bagian terpadu dari pendidikan nasional untuk memenuhi hasrat masyarakat tentang pendidikan agama. Madrasah Diniyah termasuk ke dalam pendidikan yang dilembagakan dan bertujuan untuk mempersiapkan peserta didik dalam penguasaan terhadap pengetahuan agama Islam.

UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang ditindaklanjuti dengan disyahkannya PP No. 55 Tahun 2007 tentang pendidikan agama dan keagamaan memang menjadi babak baru bagi dunia pendidikan agama dan keagamaan di Indonesia. Karena itu berarti negara telah menyadari keanekaragaman model dan bentuk pendidikan yang ada di bumi nusantara ini.


Keberadaan peraturan perundangan tersebut seolah menjadi ”tongkat penopang” bagi madrasah diniyah yang sedang mengalami krisis identitas. Karena selama ini, penyelenggaraan pendidikan diniyah ini tidak banyak diketahui bagaimana pola pengelolaannya. Tapi karakteristiknya yang khas menjadikan pendidikan ini layak untuk dimunculkan dan dipertahankan eksistensinya.


Secara umum, setidaknya sudah ada beberapa karakteristik pendidikan diniyah di bumi nusantara ini. Pertama, Pendidikan Diniyah Takmiliyah (suplemen) yang berada di tengah masyarakat dan tidak berada dalam lingkaran pengaruh pondok pesantren. Pendidikan diniyah jenis ini betul-betul merupakan kreasi dan swadaya masyarakat, yang diperuntukkan bagi anak-anak yang menginginkan pengetahuan agama di luar jalur sekolah formal. Kedua, pendidikan diniyah yang berada dalam lingkaran pondok pesantren tertentu, dan bahkan menjadi urat nadi kegiatan pondok pesantren. Ketiga, pendidikan keagamaan yang diselenggarakan sebagai pelengkap (komplemen) pada pendidikan formal di pagi hari. Keempat, pendidikan diniyah yang diselenggarakan di luar pondok pesantren tapi diselenggarakan secara formal di pagi hari, sebagaimana layaknya sekolah formal.

Ciri-ciri Madrasah Diniyah

Dengan meninjau secara pertumbuhan dan banyaknya aktifitas yang diselenggarakan sub-sistem Madrasah Diniyah, maka dapat dikatakan ciri-ciri ekstrakurikuler Madrasah Diniyah adalah sebagai berikut:

  1. Madrasah Diniyah merupakan pelengkap dari pendidikan formal.
  2. Madrasah Diniyah merupakan spesifikasi sesuai dengan kebutuhan dan tidak memerlukan syarat yang ketat serta dapat diselenggarakan dimana saja.
  3. Madrasah Diniyah tidak dibagi atas jenjang atau kelas-kelas secara ketat.
  4. Madrasah Diniyah dalam materinya bersifat praktis dan khusus.
  5. Madrasah Diniyah waktunya relatif singkat, dan warga didiknya tidak harus sama.
  6. Madrasah Diniyah mempunyai metode pengajaran yang bermacammacam.

Kurikulum yang digunakan Madrasah Diniyah

Berdasarkan Undang-undang Pendidikan dna Peraturan pemerintah no 73 tahun 1991 pada pasal 1 ayat 1 disebutkan “Penyelenggaraan pendidikan diluar sekolah boleh dilembagakan dan boleh tidak dilembagakan”. Dengan jenis “pendidikan Umum” (psl 3. ayat.1). sedangkan kurikulum dapat tertulis dan tertulis (pasl. 12 ayat 2). Bahwa Madrasah DIniyah adalah bagian terpadu dari system pendidikan nasional yang diselenggarakan pada jalur pendidikan luar sekolah untuk memenuhi hasrat masyarakat tentang pendidikan agama. Madarsah Diniyah termasuk kelompok pendidikan keagamaan jalur luar sekolah yang dilembagakan dan bertujuan untuk mempersiapkan peserta didik menguasai pengetahuan agama Islam, yang dibina oleh Menteri Agama (PP 73, Pasal 22 ayat 3). Oleh karena itu, maka Menteri Agama d/h Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam menetapkan Kurikulum Madrasah Diniyah dalam rangka membantu masyarakat mencapai tujuan pendidikan yang terarah, sistematis dan terstruktur. Meskipun demikian, masyarakat tetap memiliki keleluasaan unutk mengembangkan isi pendidikan, pendekatan dan muatan kurikulum sesuai dengan kebutuhan dan leingkungan madrasah.

Madrasah diniyah mempunyai tiga tingkatan yakni : Diniyah Awaliyah, Diniyah Wustha dan Diniyah Ulya. Madrasah DIniah Awaliyah berlangsung 4 tahun (4 tingkatan), dan Wustha 2 tahun (2 tingkatan). Input Siswa Madrasah Diniyah Awaliyah diasumsikan adalah siswa yang belakar pada sekolah Dasar dan SMP/SMU.

Sebagai bagian dari pendidikan luar sekolah, Madrasah Diniyah bertujuan :
  1. Melayani warga belajar dapat tumbuh dan berkembangn sedini mungkin dan sepanjang hayatnya guna meningkatkan martabat dan mutu kehidupanya.
  2. Membina warga belajar agar memiliki pengetahuan, keterampilan dan sikap mental yang diperluakan untuk mengembangkan diri, bekerja mencari nafkah atau melanjutkan ketingkat dan /atau jenjang yang lebih tinggi, dan
  3. Memenuhi kebutuhan belajar masyarakat yang tidak dapat dipenuhi dalam jalur pendidikan sekolah (TP 73 Pasal.2 ayat 2 s.d 3).
Untuk menumbuh kembangkan ciri madrasah sebagai satuan pendidikan yang bernapaskan Islam, amka tujuan madrasah diniyah dilengkapi dengan “memberikan bekla kemampuan dasar dan keterampilan dibidang agama Islam untuk mengembangkan kehidupannya sebagai pribadi muslim, anggota masyarakat dan warga Negara”. Dalam program pengajaran ada bebarapa bidang studi yang diajarkan seperti Qur’an Hadits, Aqidah Akhlak, Fiqih, Sejarah Kebudayaan Islam, Bahasa Arab, dan Praktek Ibadah.

Dalam pelajaran Qur’an-Hadits santri diarahkan kepada pemahaman dan penghayatan santri tentang isi yang terkandung dalam qur’an dan hadits. Mata pelajaran aqidah akhlak berfumgsi untuk memberikan pengetahuan dan bimbingan kepada santri agar meneladani kepribadian nabi Muhammad SAW, sebagai Rasul dan hamba Allah, meyakini dan menjadikan Rukun Iman sebagai pedoman berhubungan dengan Tuhannya, sesame manusia dengan alam sekitar, Mata pelajaran Fiqih diarahkan untuk mendorong, membimbing, mengembangkan dan membina santri untuk mengetahui memahami dan menghayati syariat Islam. Sejarah Kebudayaan Islam merupakan mata pelajaran yang diharapkan dapat memperkaya pengalaman santri dengan keteladanan dari Nabi Muhammad SAW dan sahabat dan tokoh Islam. Bahasa Arab sangat penting untuk penunjang pemahaman santri terhadap ajaran agama Islam, mengembangkan ilmu pengetahuan Islam dan hubungan antar bangsa degan pendekatan komunikatif. Dan praktek ibadah bertujuan melaksanakan ibadah dan syariat agama Islam.

Kurikulum Madrasah Diniyah pada dasarnya bersifat fleksibel dan akomodatif. Oleh karena itu, pengembangannya dapat dilakukan oleh Departemen Agama Pusat Kantor WilayahDepag Propinsi dan Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kotamadya atau oleh pengelola kegiatan pendidikan sendiri. Prinsip pokok untuk mengembangkan tersebut ialah tidak menyalahi aturan perundang-undangan yang berlaku tentang pendidikan secara umum, peraturan pemerintah, keputusan Menteri Agama dan kebijakan lainnya yang berkaitan dengan penyelenggaraan madrasah diniyah.

Senin, 18 Juli 2011

Artikel Anak

Ayah pelukis masa depan anak


Oleh: Muhammad Yusuf Efendi

0diggsdigg
email
Ayah adalah pelukis kehidupan anaknya, dan akan menjadi bagian penoreh sejarah kehidupannya. Bahkan keberhasilan anak yang menoreh sejarah yang hebat, akan melibatkan peran ayah sebagai guru bagi anaknya. Setiap gores pena kehidupan seorang ayah akan menampilkan bentuk kehidupan yang akan dimiliki oleh anaknya kelak.
Masa muda bagi anak adalah masa yang menyenangkan, masa mereka melihat hal yang baru, dan mencobanya. Masa mereka mulai untuk mandiri menapaki jalan hidupnya sendiri. Masa seorang anak mulai melakukan sesuatu yang mirip dengan apa yang dapat dilakukan oleh ayahnya. George Bernard Shaw mengatakan bahwa “Masa muda adalah masa terindah; sayang sekali orang muda suka menyia-nyiakannya.” Ayah adalah pengantar anak-anaknya untuk menghadapi masa muda dengan hal-hal yang dapat mendatangkan manfaat. Prinsip berbagi manfaat yang diajarkan Al-Quran kepada kita adalah, kebaikan yang dilakukan kepada orang lain, pada akhirnya akan kembali kepada pelakunya sendiri. Kitalah yang akan lebih banyak menerima manfaat daripada orang yang menerima pertolongan kita. Allah SWT berfirman di surat Al-Isra’ ayat ke-7.
إِنْ أَحْسَنتُمْ أَحْسَنتُمْ لِأَنفُسِكُمْ ۖ وَإِنْ أَسَأْتُمْ فَلَهَا ۚ
Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri,”(QS. Al-Isra’[17]:7)
Karya monumental terbesar dari seorang ayah dalam hidupnya adalah ketika ia mampu membentuk anak-anak yang kuat dan soleh yang bermanfaat bagi ummat ini. Mereka menjadi muslim yang kuat dan kokoh, menjadi duta masyarakatnya dengan ilmu yang dimilikinya. Dari sahabat Abu Hurairah RA, bersabda Rasulullah SAW, “Mu’min yang kuat lebih dicintai Allah dari mu’min yang lemah, dan masing-masing memiliki kebaikan. Bersemangat lah terhadap hal-hal yang bermanfaat bagimu dan mohonlah pertolongan kepada Allah dan jangan merasa malas, dan apabila engkau ditimpa sesuatu maka katakanlah “Qodarulloh wa maa syaa’a fa’al, Telah ditakdirkan oleh Allah dan apa yang Dia kehendaki pasti terjadi”(HR. Muslim)
Allah SWT berfirman di surat An-Nisa yang ditujukan kepada orang tua,
وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا
Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.(QS. An-Nisa[4]:9)
Dalam tafsirnya Ibnu Katsir mengatakan Ali bin Abi Thalhah berkata dari Ibnu ‘Abbas RA, ”Ayat ini berkenaan dengan seorang laki-laki yang meninggal, kemudian seseorang mendengar ia memberikan wasiat yang membahayakan ahli warisnya, maka Allah SWT memerintahkan orang yang mendengarkannya untuk bertakwa kepada Allah serta membimbing dan mengarahkannya kepada kebenaran.”
Keberhasilan masa depan anak bukan karena umur atau kemampuan terbatas yang dimilikinya. Ayahnya harus mampu mengayunkan kuas di atas kain kanvas. Kecantikan lukisan dibentuk dari beberapa ayunan kuas yang banyak, mereka se irama dan saling mengisi. Perpaduan warna yang indah disertai gradasi warna yang anggun membentuk pelangi di langit. Warna biru dan putih membentuk warna air di laut lepas. Warna hijau membentuk suasana pepohonan yang berjajar terlihat anggun. Semua goresan kuas sang ayah membentuk semua warna kehidupan si anak. Menari-nari mengikuti irama kehidupan.
Masih ingat cerita kesuksesan penyanyi Susan Boyle? Seorang ibu warga negara inggris yang sudah berumur 47 tahun. Ia ingin merubah nasib hidupnya dengan mengikuti kontes Britains Got Talent tahun 2009. Hari itu adalah tepat hari sabtu tanggal 11 April. Ibu yang bakatnya diketahui oleh jagad raya setelah berumur 47 tahun ini, akhirnya di babak final memang kalah dengan kelompok anak muda yang menampilkan tarian mirip breakdance. Akan tetapi semangat perubahan, tidak mengenal lelah, dan indahnya alunan suara yang keluar dari mulutnya, membuat para hadirin terpana. Membuat inspirasi para ibu-ibu usia senja di belahan dunia. Bahkan ada seorang juri yang berdiri dan membuka mulutnya seakan-akan ingin mengucapkan Wow! Fantastic! Tahukah anda, respon pertama kali dari orang-orang yang berada di gedung Britains Got Talent ketika ia tampil di podium dan ditanya oleh dewan juri, berapa umur anda?  Jawabannya yang jujur 47 tahun, membuat para hadirin yang melihat penampilan seorang ibu normal seperti ibu rumah tangga kebanyakan sedikit meragukan kemampuan talennya. Mana mungkin ibu ini sanggup bersaing dengan rifal-rifal lainnya, batin para hadirin.
Semua orang tahu, bahwa Britains Got Talent adalah kancah anak-anak muda berbakat yang ingin mendunia kan bakatnya. Melejitkan kemampuannya untuk menjadi artis dunia. Mereka harus melalui beberapa babak yang sulit untuk bisa tampil di depan dewan juri. Tidak jarang mereka harus berlatih keras berbulan-bulan untuk tampil sebagai peserta yang muncul di layar tv. Terlihat dari kaca tv pada saat itu dari kursi hadirin, beberapa anak perempuan muda yang menampilkan mimik wajah meragukan dan bahkan terlihat mencemohkannya ketika mendengar jawaban Susan bahwa ia berumur 47 tahun! Mereka saling berpandangan seakan-akan tidak percaya seorang ibu berumur 47 tahun berani tampil dalam acara yang sangat sulit untuk menang ini. Tahukah anda Susan berhasil melejitkan bakatnya pada usia 47 tahun? Dan sekarang ia menjadi jutawan dan orang terkenal dalam usia senjanya. Menjadi orang yang ditulis di media-media internasional sebagai ibu yang berhasil dalam karir senjanya.
Tahukah anda apa yang diucapkan oleh Susan ketika ia berhasil dalam kontes talennya?
“I don’t believe it! I don’t believe it! ”
Semua orang termasuk seorang ayah kepada anaknya, terkadang tidak mengira bahwa dengan bakat yang dianggap kecil, dapat merubah semua jalan hidupnya.  Akan tetapi ketika lukisan sang ayah berhasil diselesaikan nya dengan baik, maka seorang ayah dan anak akan menemukan bakat anak yang dimilikinya. Bukan saja bakat! bahkan kesuksesan hidup anaknya. InsyaAllah.
Mengantarkan anak menemukan kesuksesan dirinya adalah tugas mulia seorang ayah. Memunculkan kesuksesan pada diri anak adalah suatu proses yang terkadang tidak pendek. Tidak mustahil akan ditemukannya pada saat anak sudah berumur dan ayah menjelang umur kematian. Proses penemuan ini memerlukan ketekunan dan kekuatan kesabaran dari orang tuanya, khususnya adalah ayahnya. Karena itu dalam melukis masa depan anak, bagi seorang ayah ada tiga bekalan yang tidak boleh ditinggalkannya, yaitu sabar, sabar dan sabar. Kesabaran itu terkadang pahit, akan tetapi manis buahnya. Kesabaran  seperti yang dimiliki oleh Nabiullah Ya’kub AS ketika menghadapi kejahatan kakaknya Yusuf AS dan hilangnya anak tercinta, Yusuf AS. Kesabaran Ya’kub AS ini diabadikan oleh Allah SWT di dalam Al-Quran surat Yusuf ayat 18.
وَجَاءُوا عَلَىٰ قَمِيصِهِ بِدَمٍ كَذِبٍ ۚ قَالَ بَلْ سَوَّلَتْ لَكُمْ أَنفُسُكُمْ أَمْرًا ۖ فَصَبْرٌ جَمِيلٌ ۖ وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ عَلَىٰ مَا تَصِفُونَ
Mereka datang membawa baju gamis nya (yang berlumuran) dengan darah palsu. Ya’qub berkata: ‘Sebenarnya dirimu sendirilah yang memandang baik perbuatan (yang buruk) itu; maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku). Dan Allah sajalah yang di mohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu ceritakan’”. (QS. Yusuf[12]:18)
Pengetahuan akan kebenaran dari seorang nabi tidak menjadikan Ya’kub AS menghardik anak-anaknya. Ya’kub AS tahu bahwa walaupun ia mengatakan bahwa anak-anaknya semua adalah pembohong dan sesungguhnya telah membuang Yusuf AS, tetap saja anak-anaknya tidak akan mengakuinya. Pengetahuan kenabian yang tidak diketahui oleh anak-anaknya, tidak menyebabkan Ya’kub AS membela pendapatnya, “Pokoknya kamu salah, dan aku tahu aku yang paling benar.” Akan tetapi Nabiullah Ya’kub AS justru menguatkan kesabaran dengan mengucapkan, “maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku).” Subhanallah. Seorang tipe ayah yang tetap dengan kebenaran dan kesabaran walaupun sulit menunjukkannya langsung kepada anak-anaknya. Akan tetapi semua ini akan dijawab oleh Allah SWT yang mengetahui dan mengatur segala sesuatu yang terjadi di jagad raya ini.


Pengaruh Nama Pada Anak

Pengaruh Nama Pada Anak

Oleh: Anna Mariani Kartasasmita, SH. MPsi.


Kirim Print
0diggsdigg
email
dakwatuna.com - Para ahli sosiologi berpendapat bahwa nama yang berikan orangtua kepada anaknya akan mempengaruhi kepribadian, kemampuan anak dalam berinteraksi dengan orang lain, dan bagaimana cara orang menilai diri si pemilik nama.
Banyak alasan dan pertimbangan para orangtua dalam memilihkan nama anak. Ada yang menyukai anaknya memiliki nama yang unik dan tidak ‘pasaran’. Mungkin mereka tidak suka membayangkan ketika nama anaknya dipanggil di depan kelas, ternyata ada lima orang anak yang maju karena kebetulan namanya sama. Ada yang lebih suka anaknya memiliki nama yang singkat dan mudah diingat. Orangtua seperti ini akan beralasan, “Toh nanti anakku akan dipanggil dengan nama bapaknya di elakang namanya.” Walaupun pernah kejadian orang Indonesia yang diharuskan mengisi suatu formulir di negara Eropa agak kebingungan karena diharuskan mengisi kolom nama keluarga. Padahal sebagaimana juga kebanyakan orang Indonesia, nama yang ada di kartu indentitasnya hanya nama tunggal, tanpa nama keluarga atau bin/binti.
Beberapa orangtua lain memilihkan nama yang megah untuk buah hati mereka. Sementara bagi kalangan tertentu ada kepercayaan jika anak ‘keberatan nama’ nanti bisa sakit-sakitan. Sebagian orang ada yang menganggap nama sebagai sesuatu yang biasa, sekedar identitas yang membedakan seseorang dengan yang lain. Ada lagi yang memilihkan nama untuk anaknya berdasarkan rasa penghargaan terhadap seseorang yang dianggap telah berjasa atau dikagumi. “As a tribute to,” demikian alasannya.
Sebagai orangtua, kita perlu tahu makna dari sebuah nama dan mempertimbangkan yang terbaik untuk anak kita. Bayangkan bahwa anak kita akan menyandang nama tersebut sejak tertulis di akte kelahiran, hingga di hari akhir nanti.
Bagi umat muslim, nama adalah doa yang berisi harapan masa depan si pemilik nama. Para calon orang tua yang peduli tidak hanya berusaha memilih nama yang indah bagi anaknya, tapi juga nama yang memiliki arti yang baik dan memberikan dampak atau sugesti kebaikan bagi anak. Dr. Abdullah Nashih Ulwan dalam buku Pedoman Pendidikan Anak dalam Islam menyebutkan beberapa hal penting tentang pemberian nama kepada anak.
Menurut beliau kita para orangtua hendaknya:
1. Memberikan nama segera setelah bayi dilahirkan. Lamanya berkisar antara sehari hingga tujuh hari setelah dilahirkan. Dalam sebuah hadits Rasulullah saw. bersabda, “Tadi malam telah lahir seorang anakku. Kemudian aku menamakannya dengan nama Abu Ibrahim.” (Muslim).
Dari Ashhabus-Sunan dari Samirah, Rasulullah saw. bersabda, “Setiap anak itu digadaikan dengan aqiqahnya. Disembelihkan (binatang) baginya pada hari ketujuh (dari hari kelahiran)nya, diberi nama, dan dicukur kepalanya pada hari itu.”
2. Memperhatikan petunjuk pemberian nama, dengan mengatahui nama-nama yang disukai dan dibenci. Ada pun nama-nama yang dianjurkan Rasulullah saw. adalah:
  • Nama-nama yang baik dan indah. Rasulullah saw. menganjurk, “Sesungguhnya pada hari kiamat nanti kamu sekalian akan dipanggil dengan nama-nama kamu sekalian dan nama-nam bapak-bapak kamu sekalian. Oleh karena itu, buatlah nama-nama yang baik untuk kamu sekalian.”
  • Nama-nama yang paling disukai Allah yaitu Abdullah dan Abdurrahman.
  • Nama-nama para nabi seperti Muhammad, Ibrahim, Yusuf, dan lain-lain.
Sedangkan nama-nama yang sebaiknya dihindari adalah:
  • Nama-nama yang dapat mengotori kehormatan, menjadi bahan celaan atau cemoohan orang.
  • Nama yang berasal dari kata-kata yang mengandung makna pesimis atau negatif.
  • Nama-nama yang khusus bagi Allah swt. seperti Al-Ahad, Ash-Shamad, Al-Khaliq, dan lain-lain.
Pengaruh nama pada anak
Orangtua seharusnya berusaha memberikan sebutan nama yang baik, indah dan disenangi anak, karena nama seperti itu dapat membuat mereka memiliki kepribadian yang baik, memumbuhkan rasa cinta dan menghormati diri sendiri. Kemudian mereka kelak akan terbiasa dengan akhlak yang mulia saat berinteraksi dengan orang-orang disekelilingnya.
Anak juga perlu mengetahui dan paham tentang arti namanya. Pemahaman yang baik terhadap nama mereka akan menimbulkan perasaan memiliki, perasaan nyaman, bangga dan perasaan bahwa dirinya berharga.
Bagi lingkungan keluarga, adalah hal yang penting untuk menjaga agar nama anak-anak mereka disebut dan diucapkan dengan baik pula. Sebab ada kebiasaan dalam masyarakat kita yang suka mengubah nama anak dengan panggilan, julukan, atau nama kecil. Sayangnya nama panggilan ini terkadang malah mengacaukan nama aslinya. Nama panggilan ini kadang selain tidak bermakna kebaikan juga bisa mengandung pelecehan. Hal ini kadang terjadi karena nama anak terlalu sulit dilafalkan, baik oleh orang-orang disekitarnya bahkan bagi sang anak sendiri.
Nama yang terdiri dari tiga suku kata atau lebih akan membuat orang menyingkat nama tersebut menjadi satu atau dua suku kata. Misalnya Muthmainah akan disingkat menjadi Muti atau Ina. Sedangkan nama yang memiliki huruf ‘R’ biasanya akan lebih sulit dilafalkan anak yang cenderung cedal pada usia balita. Maka nama-nama seperti Rofiq (yang artinya kawan akrab) akan dilafalkan menjadi Opik, nama Raudah (taman) dilafalkan menjadi Auda.
Nama yang unik dan berbeda apalagi megah, mungkin memiliki keuntungan tersendiri. Namun nama yang demikian dapat menyebabkan beberapa masalah. Nama yang sulit diucapkan dapat membuat orang-orang sering salah mengucapkan atau menuliskannya. Ada suatu penelitian yang menunjukkan bahwa orang sering memberikan penilaian negatif pada seseorang yang memiliki nama yang aneh atau tidak biasa. Dr. Albert Mehrabian, PhD. melakukan penelitian tentang bagaimana sebuah nama mengubah persepsi orang lain tentang moral, keceriaan, kesuksesan, bahkan maskulinitas dan feminitas. Dalam pergaulan anak yang memiliki nama yang tidak biasa mungkin akan mengalami masa-masa diledek atau diganggu oleh teman-temannya karena namanya dianggap aneh. Pernah mendengar ada seseorang yang bernama Rahayu ternyata seorang laki-laki?
Jika ingin menamai anak dengan nama orang lain, ada baiknya memilih nama orang yang sudah meninggal dunia dan telah terbukti kebaikannya. Jika orang tersebut masih hidup, dikuatirkan suatu saat orang tersebut berubah atau mengalami kehidupan yang tercela. Sudah banyak contoh orang-orang yang pada sebagian hidupnya dianggap sebagai orang besar, ternyata di kemudian hari atau di akhir hayatnya digolongkan sebagai orang yang banyak dicela masyarakat. Kita harus menjaga jangan sampai anak kita menanggung malu karena suatu saat dirinya diasosiasikan dengan orang yang tidak baik.
Beruntunglah kita, karena di Indonesia nama-nama Islami sangat biasa dan banyak. Sehingga tidak ada alasan merasa malu atau aneh memiliki nama yang Islami. Hanya saja mungkin dari segi kepraktisan perlu dipertimbangkan nama anak yang cukup mudah diucapkan, tidak terlalu pasaran tapi tidak aneh, dan sebuah nama yang akan disandang anak kita dengan bangga sejak masa kanak-kanak hingga dewasa nanti. Wallahu alam.


Menanam Dasar-Dasar Iman Pada Anak

Menanam Dasar-Dasar Iman Pada Anak

Oleh: Mochamad Bugi

Kirim Print
0diggsdigg
email
Anak Shalat Berjama'ahdakwatuna.com – Akidah adalah fondasi yang kokoh bagi bangunan peradaban Islam. Tanpa akidah yang terpancang, kekuatan peradaban yang bangun akan goyah. Dan tugas menanamkan akidah adalah tugas setiap keluarga muslim kepada anak-anak mereka.
Yakinlah, lembaga sekolah tidak bisa menjamin bisa menggantikan tugas penting orang tua itu. Tapi, mungkin sekolah bisa memberi pengayaan pengetahuan tentang data-data yang menguatkan akidah dan pokok-pokok ajaran agama kepada anak-anak kita.
Menanamkan akidah ke dalam hati anak-anak kita memang bukan pekerjaan instant. Butuh waktu dan kesabaran. Sebab, akidah adalah masalah yang abstrak. Tapi yakinkan kepada anak kita bahwa sekarang mungkin mereka tidak mengerti, seiring dengan waktu dan berkembangnya pikiran mereka, kelak mereka akan paham.
Pemahaman akidah yang seperti apa yang harus kita tanamkan kepada anak-anak kita sejak dini? Tentu saja tentang Allah swt., tentang kitab-kitab samawi, tentang malaikat, tentang nabi dan rasul, tentang hari akhir. Tentu saja perlu bahasa sederhana untuk menyampaikan hal-hal yang badihi (aksiomatik) tentang itu semua.
Sebagai contoh, kenalkan kepada anak kita tentang hal-hal berikut ini.
1. Allah adalah Maha Esa. Tidak ada sekutu bagi-Nya dan tidak ada yang menyerupai Dia.
2. Setiap makhluk, termasuk anak kita, butuh kepada Allah swt. dan Allah swt. tidak butuh kepada selain diri-Nya.
3. Mengesakan Allah dalam ibadah adalah wajib.
4. Rahmat Allah swt. sangat luas sedangkan siksa-Nya sangat pedih.
5. Allah swt. mencintai hambanya yang taat dan membenci orang yang maksiat.
6. Dalam beribadah kepada-Nya, kita tidak membutuhkan perantara.
7. Hanya kepada Allah swt., kita meminta. Tidak kepada yang lain.
8. Tidak ada ketaatan terhadap makhluk jika harus bermaksiat kepada Allah swt.
9. Kita hanya diajurkan untuk memikirkan makhluknya, tidak memikirkan Dzat Allah swt.
10. Dia Allah swt. yang memberi manfaat dan mudharat. Tidak ada yang memberi manfaat dan mudharat tanpa seizin-Nya.
11. Kita mengimani bahwa Allah swt. telah mengutus Rasul-Nya untuk membimbing umat manusia.
12. Semua Rasul menyuruh kepada tauhid dan beriman kepada Allah swt.
13. Para Rasul adalah maksum (terpelihara) dari dosa dan kemaksiatan.
14. Rasul kita adalah Muhammad saw. yang diutus untuk seluruh manusia, sedangkan rasul-rasul sebelumnya diutus hanya untuk kaumnya saja.
15. Jumlah Rasul banyak, dan hanya 25 orang dari mereka yang telah dikisahkan oleh Allah kepada kita melalui Al-Qur’an.
16. Rasul yang tergolong ulul ‘azmi (yang memiliki keteguhan hati) ada lima orang, yaitu Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa, dan Nabi Muhammad saw.
Masih banyak lagi hal-hal yang aksiomatik dalam akidah Islam yang bisa kita tanamkan kepada anak-anak kita. Tapi, jangan sampai kita menyampaikan hal-hal yang menjadi perselisihan di kalangan ulama agar mereka tidak bingung.
Alhamdulillah, saat ini sudah banyak buku-buku, nasyid (lagu-lagu), dan VCD yang berisi pelajaran tentang akidah dengan bahasa yang sederhana. Kita bisa memakainya sebagai sarana. Ingat, kita memakai semua sarana itu untuk mengajarkan akidah kepada anak-anak kita, bukan membiarkan anak kita bersama dengan sarana-sarana itu. Sebab, sarana (baca: alat) tidak bisa mengajarkan tanpa ada yang aktif menggunakan sarana itu mengajarkannya (baca: guru). Jadi, peran kita, orang tua, tidak pernah tergantikan dengan apa pun!
Semoga kita bisa menunaikan tugas ini. Jika Allah swt. bertanya nanti di hari penghitungan amal, kita telah siap dengan jawaban, “Ya Allah, aku telah mengenalkan diri-Mu dan Rasul-Mu kepada anak-anakku siang dan malam.”

Pengunjung