Selamat Datang Diblog MADRASAH DINIYAH AL YAQIN. Terima kasih anda sudah mengunjungi Blog kami.

Jumat, 23 Desember 2011

Ibu, Madrasah Pertama

Alqur'an memang menegaskan bahwa ayah menjadi pendidik dalam keluarga. Sebagaimana firman Allah SWT, "Quu anfusakum waahlikum naaran" ( Jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka ). Walau begitu islam memberikan peran yang amat sangat besar kepada ibu sebagai pendidik.
menarik apa yang diungkapkan ulama, bahwa ibu bagaikan madrasah pertama bagi anak (al-ummu kalmadrasatul ula).
Ungkapan ulama itu menarik kita cermati, bagaimana tidak? sejak dalam kandungan sang ibu sudah mendidik anaknya.

Di saat sang ibu marah, anak yang dalam kandungan pun akan merespon marah tersebut dan berdampak tak baik bagi perkembangan otak anak.

Demikian juga saat sang ibu membaca Alquran, maka anak dalam kandungan pun meresponnya dengan baik dan membentuk sifat yang baik pula. Makanya jangan heran jika pendidikan pertama itu dilakukan oleh ibu.

Kalangan ahli kedokteran dan ilmu jiwa menyarankan agar mendidik anak diawali dari saat dalam kandungan.

Bahkan kalangan musisi berpendapat bahwa anak yang dalam kandungan sering didengarkan musik klasik, akan membuat anak itu cerdas. Jangan heran jika saat ini banyak dijual kaset musik klasik khusus untuk ibu hamil seperti Mozart, Beethoven dan pemusik klasik lainnya.
Perlu diingat bahwa kecerdasan itu tidak hanya intelektual atau Intellegent Quantity (IQ) tetapi kecerdasan emosial atau Emotional Quantity (EQ) anak pun perlu mendapat perhatian.

Di sinilah pentingnya peran ibu sebagai pendidik awal (guru pertama) bagi anak, yakni membangun kecerdasan emosial anak, baik di saat dalam kandungan ataupun setelah lahir dan golden age.

Pendidikan karakter muatannya tidak hanya intelektual semata, tetapi bagaimana karakter anak itu tangguh, memiliki kecerdasan emosi yang baik.

Bukankah tidak sedikit anak yang pintar saat sekolah atau kuliah, tetapi gagal dalam mengarungi kehidupan ini. Di sinilah pentingnya kecerdasan emosional bagi anak.

Goleman, salah seorang psikolog yang mempopulerkan kecerdasan emosional (EQ) menegaskan bahwa EQ tidak kalah pentingnya dengan kecerdasan intelektual (IQ).

EQ dalam wujudnya justru memberi kita rasa empati, cinta, solidaritas, dan kemampuan merasakan kesedihan ataupun kegembiraan kesemuanya terkait dengan unsur-unsur kemanusiaan.

Kecerdasan emosi pada anak tidak terjadi begitu saja tapi harus diajarkan dan dibentuk sejak dini karena itu peran orang tua, ibu, sangat penting dalam membentuk kecerdasan emosi pada anak.

Ibu sebagai orang yang paling dekat dengan anak, maka memiliki peran penting dalam membentuk kecerdasan emosional anak tersebut.

Saat menyusukan anak, jika didengarkan suara-suara lembut, maka anak pun akan menengadahkan wajahnya ke muka sang ibu, memperhatikan dengan seksama, ini akan membentuk kecerdasan emosional anak yang baik.

Seperti orang dewasa, anak juga merasakan bermacam-macam emosi seperti marah, malu, senang, sedih, terkejut dan sebagainya. Ajari anak untuk mengenali emosinya, mengekspresikan emosinya dam mengendalikan emosinya dengan tepat.

Banyak kalangan orang tua yang menyepelekan kecerdasan emosional ini, padahal keberhasilan seseorang itu sangat tergantung pada kecerdasan emosional.

Tak jarang anak yang nilai sekolahnya pas-pasan tetapi kecerdasan emosionalnya baik, maka anak itu sukses dalam kehidupannya.

Sementara anak yang pintar tetapi kepribadiannya tidak menyenangkan (buruk) maka orang yang demikian sulit mencapai sukses dalam hidupnya, karena untuk sukses kita perlu bantuan dan dukungan orang lain, di sinilah pentingnya pendidikan karakter. Bagaimana membentuk karakter anak yang baik dan cerdas.

Kita saksikan sendiri bagaimana Rasulullah menjalani hidupnya, walau dengan kondisi prihatin, dia memiliki keindahan perilaku, sehingga ini yang membuatnya unggul.

Demikian juga sejumlah tokoh besar di dunia yang sukses, mereka berhasil bukan karena nilai di sekolah yang tinggi tetapi memiliki kecerdasan emosional yang baik.

Contoh dekat saat ini kita saksikan sosok Dahlan Iskan, pengusaha pers yang berhasil dalam beragam tugas yang diembannya, mulai dari Dirut PLN sampai sekarang Menteri BUMN, dia ternyata sosok yang berasal dari keluarga sederhana bahkan dalam buku Ganti Hati dia menjelaskan dari keluarga miskin, namun karena memiliki kecerdasan emosional yang baik, akhirnya berhasil memimpin sejumlah perusahaan.

Tak terbayangkan sosok seperti Dahlan Iskan yang dari keluarga miskin dan hanya tamatan madrasah aliyah ternyata mampu mengurusi listik (PT PLN), dimana anak buahnya banyak doktor listrik alumni Amerika, tetapi dia berhasil merangkul mereka dan membuktikan PLN ternyata bisa tidak padam. Bahkan saat ini Dahlan harus menangani 140 lebih BUMN besar di negeri ini.

Kita tidak ingin memiliki anak-anak generasi muda yang pintar IQ-nya tetapi rapuh alias melempem, tak mampu menghadapi kehidupan ini. Ibu sebagai ‘madrasah pertama’ dituntut menanamkan pondasi awal kecerdasan emosional anak.

Pendidikan emosional diawali dari hal-hal yang sepele, misalnya ketika sang anak mulai banyak bertanya, ‘’Ini apa?, Itu apa?, Kenapa begini?, Kenapa begitu?,’’ seorang ibu dituntut untuk dapat memberikan jawaban yang terbaik dengan santun.

Yakni jawaban yang tidak mematikan rasa ingin tahu anak, bahkan sebaliknya, jawaban yang membuat anak semakin terpacu untuk belajar.

Selama ini tidak sedikit ibu yang beranggapan, ketika anak sudah masuk sekolah, maka sekolah lah yang bertanggun jawab atas pendidikan anaknya.

Padahal peran ibu tak tergantikan oleh guru di sekolah. Ibu memiliki peran lebih dari sekolah, yakni membangun kecerdasan emosional anak, bahkan membangun kecerdasan spiritual anak.

Peran yang demikian strategis ini, menuntut seorang ibu untuk membekali dirinya dengan ilmu yang memadai. Maka, seorang ibu harus terus bergerak meningkatkan kualitas dirinya.

Karena, untuk mencetak generasi yang berkualitas, diperlukan pendidik yang berkualitas pula. Hal itu berarti, seorang  ibu tidak boleh berhenti belajar.

Jika ibu menjadi lembaga pendidikan (madrasah) pertama dalam kehidupan anak, maka lembaga itu perlu dipersiapkan dengan baik, insya Allah darinya akan lahir pemuda-pemuda berjiwa mulia, yang tangguh walau miskin harta tetapi tidak miskin iman, takut korupsi dan takut berbuat jahat.

Tidak seperti fenomena sekarang ini, banyak orang pintar tetapi miskin iman, siapa yang salah, lembaga pendidikan atau orang tua?

Demikian berat tugas seorang ibu, sampai-sampai Rasulullah memberi perhatian lebih pada ibu, yakni mengajak untuk memuliakan ibu.  Selamat Hari Ibu.

0 komentar:

Posting Komentar

Pengunjung