Selamat Datang Diblog MADRASAH DINIYAH AL YAQIN. Terima kasih anda sudah mengunjungi Blog kami.

Jumat, 23 Desember 2011

Ibu, Madrasah Pertama

Alqur'an memang menegaskan bahwa ayah menjadi pendidik dalam keluarga. Sebagaimana firman Allah SWT, "Quu anfusakum waahlikum naaran" ( Jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka ). Walau begitu islam memberikan peran yang amat sangat besar kepada ibu sebagai pendidik.
menarik apa yang diungkapkan ulama, bahwa ibu bagaikan madrasah pertama bagi anak (al-ummu kalmadrasatul ula).
Ungkapan ulama itu menarik kita cermati, bagaimana tidak? sejak dalam kandungan sang ibu sudah mendidik anaknya.

Di saat sang ibu marah, anak yang dalam kandungan pun akan merespon marah tersebut dan berdampak tak baik bagi perkembangan otak anak.

Demikian juga saat sang ibu membaca Alquran, maka anak dalam kandungan pun meresponnya dengan baik dan membentuk sifat yang baik pula. Makanya jangan heran jika pendidikan pertama itu dilakukan oleh ibu.

Kalangan ahli kedokteran dan ilmu jiwa menyarankan agar mendidik anak diawali dari saat dalam kandungan.

Bahkan kalangan musisi berpendapat bahwa anak yang dalam kandungan sering didengarkan musik klasik, akan membuat anak itu cerdas. Jangan heran jika saat ini banyak dijual kaset musik klasik khusus untuk ibu hamil seperti Mozart, Beethoven dan pemusik klasik lainnya.
Perlu diingat bahwa kecerdasan itu tidak hanya intelektual atau Intellegent Quantity (IQ) tetapi kecerdasan emosial atau Emotional Quantity (EQ) anak pun perlu mendapat perhatian.

Di sinilah pentingnya peran ibu sebagai pendidik awal (guru pertama) bagi anak, yakni membangun kecerdasan emosial anak, baik di saat dalam kandungan ataupun setelah lahir dan golden age.

Pendidikan karakter muatannya tidak hanya intelektual semata, tetapi bagaimana karakter anak itu tangguh, memiliki kecerdasan emosi yang baik.

Bukankah tidak sedikit anak yang pintar saat sekolah atau kuliah, tetapi gagal dalam mengarungi kehidupan ini. Di sinilah pentingnya kecerdasan emosional bagi anak.

Goleman, salah seorang psikolog yang mempopulerkan kecerdasan emosional (EQ) menegaskan bahwa EQ tidak kalah pentingnya dengan kecerdasan intelektual (IQ).

EQ dalam wujudnya justru memberi kita rasa empati, cinta, solidaritas, dan kemampuan merasakan kesedihan ataupun kegembiraan kesemuanya terkait dengan unsur-unsur kemanusiaan.

Kecerdasan emosi pada anak tidak terjadi begitu saja tapi harus diajarkan dan dibentuk sejak dini karena itu peran orang tua, ibu, sangat penting dalam membentuk kecerdasan emosi pada anak.

Ibu sebagai orang yang paling dekat dengan anak, maka memiliki peran penting dalam membentuk kecerdasan emosional anak tersebut.

Saat menyusukan anak, jika didengarkan suara-suara lembut, maka anak pun akan menengadahkan wajahnya ke muka sang ibu, memperhatikan dengan seksama, ini akan membentuk kecerdasan emosional anak yang baik.

Seperti orang dewasa, anak juga merasakan bermacam-macam emosi seperti marah, malu, senang, sedih, terkejut dan sebagainya. Ajari anak untuk mengenali emosinya, mengekspresikan emosinya dam mengendalikan emosinya dengan tepat.

Banyak kalangan orang tua yang menyepelekan kecerdasan emosional ini, padahal keberhasilan seseorang itu sangat tergantung pada kecerdasan emosional.

Tak jarang anak yang nilai sekolahnya pas-pasan tetapi kecerdasan emosionalnya baik, maka anak itu sukses dalam kehidupannya.

Sementara anak yang pintar tetapi kepribadiannya tidak menyenangkan (buruk) maka orang yang demikian sulit mencapai sukses dalam hidupnya, karena untuk sukses kita perlu bantuan dan dukungan orang lain, di sinilah pentingnya pendidikan karakter. Bagaimana membentuk karakter anak yang baik dan cerdas.

Kita saksikan sendiri bagaimana Rasulullah menjalani hidupnya, walau dengan kondisi prihatin, dia memiliki keindahan perilaku, sehingga ini yang membuatnya unggul.

Demikian juga sejumlah tokoh besar di dunia yang sukses, mereka berhasil bukan karena nilai di sekolah yang tinggi tetapi memiliki kecerdasan emosional yang baik.

Contoh dekat saat ini kita saksikan sosok Dahlan Iskan, pengusaha pers yang berhasil dalam beragam tugas yang diembannya, mulai dari Dirut PLN sampai sekarang Menteri BUMN, dia ternyata sosok yang berasal dari keluarga sederhana bahkan dalam buku Ganti Hati dia menjelaskan dari keluarga miskin, namun karena memiliki kecerdasan emosional yang baik, akhirnya berhasil memimpin sejumlah perusahaan.

Tak terbayangkan sosok seperti Dahlan Iskan yang dari keluarga miskin dan hanya tamatan madrasah aliyah ternyata mampu mengurusi listik (PT PLN), dimana anak buahnya banyak doktor listrik alumni Amerika, tetapi dia berhasil merangkul mereka dan membuktikan PLN ternyata bisa tidak padam. Bahkan saat ini Dahlan harus menangani 140 lebih BUMN besar di negeri ini.

Kita tidak ingin memiliki anak-anak generasi muda yang pintar IQ-nya tetapi rapuh alias melempem, tak mampu menghadapi kehidupan ini. Ibu sebagai ‘madrasah pertama’ dituntut menanamkan pondasi awal kecerdasan emosional anak.

Pendidikan emosional diawali dari hal-hal yang sepele, misalnya ketika sang anak mulai banyak bertanya, ‘’Ini apa?, Itu apa?, Kenapa begini?, Kenapa begitu?,’’ seorang ibu dituntut untuk dapat memberikan jawaban yang terbaik dengan santun.

Yakni jawaban yang tidak mematikan rasa ingin tahu anak, bahkan sebaliknya, jawaban yang membuat anak semakin terpacu untuk belajar.

Selama ini tidak sedikit ibu yang beranggapan, ketika anak sudah masuk sekolah, maka sekolah lah yang bertanggun jawab atas pendidikan anaknya.

Padahal peran ibu tak tergantikan oleh guru di sekolah. Ibu memiliki peran lebih dari sekolah, yakni membangun kecerdasan emosional anak, bahkan membangun kecerdasan spiritual anak.

Peran yang demikian strategis ini, menuntut seorang ibu untuk membekali dirinya dengan ilmu yang memadai. Maka, seorang ibu harus terus bergerak meningkatkan kualitas dirinya.

Karena, untuk mencetak generasi yang berkualitas, diperlukan pendidik yang berkualitas pula. Hal itu berarti, seorang  ibu tidak boleh berhenti belajar.

Jika ibu menjadi lembaga pendidikan (madrasah) pertama dalam kehidupan anak, maka lembaga itu perlu dipersiapkan dengan baik, insya Allah darinya akan lahir pemuda-pemuda berjiwa mulia, yang tangguh walau miskin harta tetapi tidak miskin iman, takut korupsi dan takut berbuat jahat.

Tidak seperti fenomena sekarang ini, banyak orang pintar tetapi miskin iman, siapa yang salah, lembaga pendidikan atau orang tua?

Demikian berat tugas seorang ibu, sampai-sampai Rasulullah memberi perhatian lebih pada ibu, yakni mengajak untuk memuliakan ibu.  Selamat Hari Ibu.

Rabu, 30 November 2011

Foto Kegiatan Md Al Yaqin



Selasa, 09 Agustus 2011

Fiqih Shiyam (Bag 3 )

Fiqih Shiyam (Bagian ke-3)

Oleh: Tim Kajian Manhaj Tarbiyah


Ilustrasi (ramadhaniricky.blogspot.com)
dakwatuna.com - Ini adalah kelanjutan dari materi sebelumnya yang telah membahas: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 183-187, Ta’rif Shiyam dan Masyru’iyyahnya, Syarat-syarat shiyam, Furudhusshiyam (rukun siyam), Furudhusshiyam (rukun shiyam), dan Hukum Berbuka di Bulan Ramadhan. Kali ini akan dibahas mengenai mengqadha puasa yang terlewatkan, Mubahatushshiyam, serta Adab dan Sunnah Puasa. Selamat menyimak.
6. Mengqadha Puasa yang Terlewatkan
Mengqadha puasa yang ditinggalkan adalah kewajiban yang longgar, sehingga bertemu dengan Ramadhan berikutnya menurut kesepakatan ulama. Mengqadha puasa jumlahnya sama dengan puasa yang ditinggalkan, orang yang meninggalkan tiga hari puasa ia wajib mengqadha tiga hari pula. Ia tidak diharuskan bersambung dalam mengqadha’nya, boleh puasa tiga hari dengan terpisah-pisah, akan tetapi bersambung lebih utama, karena lebih menyerupai puasa Ramadhan.
Dan jika sudah masuk Ramadhan berikutnya dan belum mengqadha’ karena udzur, maka ia mengakhirkan qadha’nya setelah melaksanakan Ramadhan tahun itu tanpa ada tambahan fidyah. Tetapi jika penundaan itu tanpa ada udzur ia wajib mengqadha setelah Ramadhan dan membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin untuk setiap hari puasa.
Jika seseorang meninggal dengan berutang puasa, maka disunnahkan bagi walinya untuk berpuasa menggantikannya, sesuai dengan hadits: “Barang siapa yang mati dan ia berkewajiban puasa, maka walinya yang menggantikan puasanya”. HR. Asysyaikhani. Menurut mazhab Syafi’i wali dari mayit itu dipersilakan memilih antara puasa dan fidyah. Sedangkan menurut jumhur ulama, yaitu dengan memberi makan seorang miskin untuk setiap harinya, sesuai dengan hadits: “Barang siapa mati dan ia berutang puasa, maka diganti dengan memberi makan seorang miskin setiap harinya”. HR At Tirmidzi, mauquf Ibnu Umar.
7. Mubahatushshiyam
Orang yang sedang berpuasa diperbolehkan melakukan hal-hal berikut ini:
  1. Masuk ke air, berendam di dalamnya, mandi. Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw menuangkan air ke atas kepalanya sedang ia berpuasa karena haus dan panas” HR. Ahmad, Malik, Abu Daud dengan sanad shahih. Jika masuk air ke dalam rongga tanpa sengaja, maka puasanya tetap sah, menyerupai orang yang lupa.
  2. Mengenakan sipat mata dan meneteskan obat mata, meskipun ada rasa pahit di tenggorokan, sebab mata bukanlah saluran ke dalam rongga. Demikian juga tetes telinga. Sedang yang masuk melalui mulut dan telinga maka itu membatalkan.
  3. Berkumur dan mengisap air hidung dengan tidak ditekan, dan jika ada air yang tanpa sengaja masuk rongga tidak membatalkannya, karena serupa dengan orang yang lupa.
  4. Mencium istri bagi orang yang mampu menahan diri. Tidak dibedakan antara orang tua atau muda, sebab yang penting adalah kemampuan mengendalikan diri, barang siapa yang biasanya tergerak nafsunya ketika mencium maka makruh baginya. Dalam hadits shahih disebutkan bahwa Rasulullah saw mencium istrinya sedang ia berpuasa. (Muttafaq alaih). Dan sesungguhnya Umar ibnul Khaththab RA suatu hari mencium istrinya, kemudian menemui Rasulullah saw dan menyatakan: Hari ini aku melakukan dosa besar, aku mencium istriku sedang aku berpuasa. Rasulullah bertanya: Bagaimana pendapatmu jika engkau berkumur dengan air sedang engkau berpuasa? Umar menjawab: Tidak apa-apa. Sabda Nabi: Lalu mengapa dengan mencium (kenapa bertanya?) HR Ahmad dan Abu Daud.
  5. Bekam, yaitu mengambil darah dari kepala, atau dari organ tubuh lainnya. Rasulullah saw seperti yang diriwayatkan Al Bukhari: melakukan bekam dalam keadaan puasa.  Namun jika bekam membuat yang berpuasa lemah, maka hukumnya makruh.
  6. Menggunakan suntikan untuk mengeluarkan kotoran tubuh, karena yang masuk ke dalam tubuh adalah obat bukan makanan, di samping masuknya juga bukan dari saluran yang normal.
  7. Diperbolehkan bagi yang berpuasa menghirup sesuatu yang tak terhindarkan seperti keringat, debu jalanan, sebagaimana aroma sedap yang lain. Diperbolehkan pula dalam keadaan darurat untuk mencicipi makanan, kemudian mengeluarkannya sehingga tidak masuk ke dalam rongga.
  8. Diperbolehkan pula bagi orang yang berpuasa bangun tidur dalam keadaan junub karena mimpi atau hubungan suami istri. Namun yang utama mandi terlebih dahulu setelah berhubungan sebelum tidur. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Aisyah dan Ummu Salamah RA Bahwasanya Rasulullah saw pernah bangun pagi dalam keadaan junub kemudian mandi dan berpuasa. Hadits Muttafaq alaih.
  9. Diperbolehkan meneruskan makan sehingga terbit fajar, dan ketika sudah terbit fajar dan masih ada makanan di mulut maka harus dikeluarkan. Jika demikian sah puasanya, namun jika dengan sengaja ia telah yang ada di mulutnya maka batal puasanya. Dan yang lebih utama berhenti makan sebelum terbit fajar.
8. Adab dan Sunnah Puasa
  1. Sahur. Rasulullah saw bersabda: Bersahurlah, karena sahur itu ada berkahnya. Hadits Muttafaq alaih. Dan sudah dianggap sahur meskipun hanya dengan seteguk air. Waktu sahur dimulai dari sejak tengah malam sampai terbit fajar, dan disunnahkan mengakhirkannya.
  2. Menyegerakan berbuka setelah terbukti Maghrib, disunnahkan berbuka dengan kurma segar atau kurma matang dengan bilangan ganjil. Jika tidak ada maka dengan air putih, kemudian shalat Maghrib, setelah itu dilanjutkan dengan meneruskan makanan yang diinginkan, kecuali jika makanan sudah tersaji maka tidak apa-apa jika makan dahulu baru kemudian shalat.
  3. berdoa ketika berbuka dengan doa Rasulullah saw “ Dahaga telah sirna, keringat telah membasah, dan pahala telah didapat Insya Allah” HR Abu Daud dan An Nasa’i, di samping doa makan yang sudah terkenal: Ya Allah berkahilah bagi kami pada rezki yang Kau berikan pada kami, dan jagalah kami dari siksa neraka” HR Ibnu As Sinniy
  4. Meninggalkan hal-hal yang akan menghilangkan nilai puasa seperti berdusta, bergunjing, adu domba, berbicara sia-sia dan jorok, serta larangan-larangan Islam lainnya sehingga terbentuk ketaqwaan, inilah tujuan puasa. Rasulullah saw bersabda: Tidaklah puasa itu hanya dengan meninggalkan makan dan minum, tetapi puasa itu dari perkataan sia-sia dan jorok. Dan jika ada yang memakimu maka katakan: Sesungguhnya aku sedang puasa. HR Hakim dll. Dan di kesempatan lain Nabi bersabda: Barang siapa yang tidak bisa meninggalkan ucapan dan perbuatan dusta maka Allah tidak membutuhkan ia tinggalkan makan dan minumnya. HR Al Jamaah, kecuali Muslim
  5. Memperbanyak amal shalih terutama tilawah Al Qur’an dan infaq fii sabilillah. Rasulullah adalah orang yang paling dermawan, dan lebih dermawan lagi jika di bulan Ramadhan, ketika berjumpa dengan Jibril, yang menemuinya setiap malam bulan Ramadhan untuk mengulang bacaan Al Qur’an” HR Asy Syaikhani
  6. Bersungguh-sungguh dalam beribadah, memelihara sunnah, terutama shalat tarawih, sabda Rasulullah: Barang siapa yang melaksanakan qiyam Ramadhan dengan iman dan berharap Allah, maka akan diampuni dosanya yang telah berlalu” Muttafaq alaih
  7. Memelihara siwak,[1] sesuai dengan hadits Amir ibn rabi’ah berkata: Aku melihat tak terhitung bersiwaknya sedang ia dalam keadaan berpuasa. HR Al Bukhari
  8. Meninggalkan hal-hal mubah yang telah disebutkan di atas kecuali dalam keadaan darurat, terutama bekam, mencicipi makanan, dan menunda mandi junub hingga setelah fajar.


Catatan Kaki:
[1] menurut Syafiiyyah, bersiwak setelah matahari bergeser (Zhuhur) hukumnya makruh karena hadits : Sungguh bau mulut orang yang berpuasa itu lebih harum dari pada misk.
– Bersambung
(hdn)

Fiqih Shiyam (Bag 2)

Fiqih Shiyam (Bagian ke-2)




Ilustrasi - Ramadhan (inet)
dakwatuna.com - Ini adalah kelanjutan dari materi sebelumnya yang telah membahas: Tafsir Suarat Al Baqarah Ayat 183-187, Ta’rif Shiyam dan Masyru’iyyahnya, Syarat-syarat shiyam, dan Furudhusshiyam (rukun siyam). Kali ini akan dibahas mengenai Furudhusshiyam (rukun shiyam), dan Hukum Berbuka di Bulan Ramadhan. Selamat menyimak.
4. Furudhusshiyam (rukun shiyam)
a. Niat, karena niatlah yang membedakan antara ibadah dengan selainnya.
Tidak disyaratkan melafalkan niat, karena niat terletak dalam hati, maka barang siapa yang makan sahur untuk puasa, ia telah dianggap orang berniat puasa, dan barang siapa yang berazam meninggalkan hal-hal yang membatalkan puasa karena Allah, maka azamnya itu adalah niat. Waktu niat ada di sepanjang malam sehingga terbit fajar. Hal ini berlaku untuk puasa Ramadhan dan qadha puasa Ramadhan di hari lain, puasa nazar, puasa kifarat. Maka ketika sudah terbit fajar dan belum niat puasa, puasanya tidak sah. [1] Hal ini didasarkan pada hadits Hafshah ra berkata, Rasulullah saw bersabda:
“Barang siapa yang tidak mengumpulkan niat puasa sebelum fajar, maka tidak sah puasanya.” (HR. Ahmad dan Ashabussunan, dishahihkan oleh Ibnu Huzaimah dan Ibnu Hibban)
Sedangkan untuk puasa sunnah maka disahkan berniat sebelum matahari bergeser (Zhuhur) menurut Hanafi dan Syafii. Didasarkan pada hadits Aisyah ra, berkata:
“Rasulullah saw suatu hari masuk ke rumahku, dan bertanya: Adakah kamu punya sesuatu? Saya jawab: Tidak ada. Nabi bersabda: Maka aku berpuasa.” (HR Muslim dan Abu Daud)
b. Meninggalkan hal-hal yang membatalkan sejak terbit fajar sampai terbenam matahari. Dan yang membatalkannya ada empat macam:
i. Segala sesuatu yang masuk ke dalam rongga melewati mulut, berupa makanan atau minuman yang menjadi konsumsi fisik atau tidak menjadi konsumsi fisik. Sedangkan yang menjadi konsumsi fisik tapi tidak masuk melalui mulut, seperti jarum infus dll, dianggap tidak membatalkan puasa.
ii. Sengaja muntah, sedang yang tidak sengaja maka tidak membatalkan. Rasulullah saw bersabda:
“Barang siapa yang terpaksa muntah, maka ia tidak wajib qadha’ sedangkan yang sengaja maka ia wajib qadha’.” (HR. Ahmad, Abu Daud, At Tirmidzi, Ibnu Hibban AD Dari Quthni dan Al Hakim)
iii. istimna’, yaitu sengaja mengeluarkan sperma, baik karena ciuman dengan istri, atau sentuhan tangan maka hukumnya batal. Sedangkan jika karena melihat saja, atau berfikir saja maka tidak membatalkan. Demikian juga keluarnya madzi, tidak mempengaruhi puasa.
iv. al jima’, karena Allah SWT berfirman tidak memperbolehkannya kecuali di waktu malam. Surat Al-Baqarah ayat 187:
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَائِكُمْ ۚ هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ ۗ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنتُمْ تَخْتَانُونَ أَنفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنكُمْ ۖ
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu.” (QS. Al-Baqarah: 187)
Semua hal yang membatalkan ini disyaratkan harus dilakukan dengan ingat jika ia sedang berpuasa. Maka jika ia makan, minum, istimna’ atau muntah, atau berhubungan suami istri dalam keadaan lupa maka tidak membatalkan puasanya, baik dalam bulan Ramadhan atau di luar Ramadhan. Baik dalam puasa wajib atau puasa sunnah, karena Rasulullah saw bersabda:
“Barang siapa lupa ia sedang puasa, lalu ia makan atau minum, maka hendaklah ia sempurnakan puasanya, karena Allah yang memberinya makan dan minum.” (HR Al jama’ah)
5. Hukum Berbuka di Bulan Ramadhan
Berbuka di bulan Ramadhan dapat digolongkan dalam enam macam:
a. Wajib berbuka atas orang yang haidh atau nifas, bahkan ia haram puasa, dan wajib qadha saja. Artinya ia wajib puasa menggantikan hari-hari yang ditinggalkan. Aisyah RA berkata:
“Kami haidh di masa Rasulullah SAW, lalu kami disuruh mengqadha puasa, dan tidak disuruh mengqadha’ shalat”. (HR. Al Bukhari dan Muslim)
b. Diperbolehkan berbuka bagi orang yang sakit dan musafir. Keduanya hanya wajib qadha. Sedangkan puasa dalam perjalanan lebih diutamakan jika tidak membahayakan yang bersangkutan, tetapi jika membahayakan, maka berbuka lebih baik baginya. Abu Said Al Khudzriy RA meriwayatkan:
“Kami berperang bersama Rasulullah SAW di bulan Ramadhan, di antara kami ada yang berpuasa, dan di antara kami ada pula yang tidak berpuasa, dan orang yang puasa tidak mencela yang tidak berpuasa, dan yang tidak berpuasa juga tidak mencela yang berpuasa. Bagi yang mampu dan berpuasa maka itu baik baginya, dan yang lemah lalu berbuka maka itu baik baginya.” (HR. Ahmad dan Muslim)
Syarat diperbolehkan puasa di perjalanan hendaklah jaraknya sejarak diperbolehkan mengqashar shalat, dan berangkat sebelum fajar. Jika ia mukim dan telah niat puasa, terbit fajar di tempatnya lalu ia bepergian, maka ia tidak boleh berbuka. Sedang jika ia musafir, lalu niat puasa dari malam, kemudian ia ingin berbuka di siang hari, maka hal itu diperbolehkan baginya. Sedangkan bagi orang sakit yang dengan puasa menambah sakitnya, atau lambat sembuhnya, jika ia puasa, sah puasanya tapi makruh, karena ia meninggalkan rukhshah yang Allah cintai. Sedang wanita hamil dan menyusui keduanya boleh berbuka, dan hanya wajib qadha saja, dianalogikan dengan orang yang sakit.
c. Diperbolehkan berbuka bagi orang tua dan orang sakit yang sudah tidak ada harapan sembuh, keduanya tidak wajib qadha’ hanya wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkan. Sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA berkata:
“Diberikan rukhshah bagi orang tua untuk berbuka dan ia memberi makan setiap harinya pada seorang miskin dan tidak ada qadha atasnya”. (HR Ad Daruquthniy, Al Hakim, dan keduanya menshahihkannya)
d. Orang yang dengan sengaja tidak dengan berhubungan suami istri, seperti orang yang makan, minum, sengaja muntah, atau keluar mani, demikian juga orang yang berbuka tanpa sengaja seperti orang yang menduga bahwa fajar belum terbit, lalu ia sahur, kemudian ternyata fajar telah terbit. Atau orang yang menduga telah terbenam matahari lalu ia makan, ternyata matahari belum terbenam, atau orang yang pingsan. Semuanya wajib qadha tanpa kifarat. Berbeda dengan orang yang makan karena lupa yang tidak wajib qadha. Orang yang berbuka tanpa sengaja ia tidak berdosa, sedangkan orang yang sengaja berbuka maka dosanya sangat besar, seperti sabda Rasulullah SAW:
“Barang siapa yang berbuka satu hari dari bulan Ramadhan, tidak bisa digantikannya puasa setahun penuh, meskipun ia berpuasa.” (HR. Ahmad dan Ad Darimiy)
e. barang siapa yang berhubungan suami istri dengan sengaja , maka ia wajib menahan diri pada sisa hari itu, mengqadha, dan kifarat atas yang laki-laki (sesuai dengan kesepakatan ulama), perbedaan pendapat terjadi tentang kifarat, apakah wajib atas wanita atau tidak? Wajib atas wanita pula menurut mazhab Hanafi, tidak wajib menurut Syafi’i.
Kifaratnya adalah memerdekakan budak wanita, jika tidak mampu maka berpuasa dua bulan berturut-turut, jika tidak mampu maka memberi makan enam puluh orang miskin dengan makanan sedang yang biasa diberikan untuk keluarganya. Berurutan dalam penerapan kifarat adalah sesuatu yang wajib menurut jumhurul ulama. Tidak boleh menggunakan kifarat kedua kecuali jika tidak mampu kifarat yang pertama. Sesuai dengan hadits masyhur ini. Bahwa seseorang datang kepada Nabi Muhammad SAW lalu berkata:
“Aku telah binasa Ya Rasulullah. Nabi bertanya : Apa yang membinasakanmu? Ia menjawab: Aku jatuh di atas istriku pada bulan Ramadhan. Nabi bertanya: Adakah budak yang kau bisa merdekakan? Ia menjawab: Tidak ada. Nabi bertanya lagi: Mampukah kau berpuasa dua bulan berturut-turut? Ia menjawab: Tidak. Nabi bertanya lagi: Adakah yang bisa kau gunakan memberi makan enam puluh orang miskin? Ia menjawab: Tidak. Kemudian ia duduk. Lalu Rasulullah datang dengan membawa segantang kurma, dan bersabda: Bersedekahlah dengannya! Ia bertanya: Kepada yang lebih miskin dari kami? Karena tidak ada orang yang tinggal di antara dua batu ini (Madinah) lebih membutuhkannya daripada kami. Rasulullah kemudian tersenyum sehingga tampak gigi taringnya dan bersabda: Pulanglah dan berikan makan keluargamu”. (HR. Al Jama’ah)
Dan orang yang berulang-ulang melakukan hubungan suami istri dalam sehari, ia hanya wajib membayar kifar sekali. Sedang yang mengulanginya di hari lain maka setiap hari satu kifarat, kecuali menurut mazhab Hanafi yang hanya mewajibkan sekali kifarat, kecuali jika sudah membayar kifarat lalu mengulang lagi, maka ia wajib kifarat lagi, meskipun masih di bulan Ramadhan yang sama.
f. orang gila sehingga sembuh, anak kecil sehingga baligh, dan orang kafir sehingga muslim, mereka tidak wajib qadha tidak juga fidyah.

Catatan Kaki:
[1] Menurut madzhab Hanafi, disahkan niat puasa bulan Ramadhan setelah terbit fajar sebelum zuhur, dan yang afdhal dilakukan sejak malam
– Bersambung

Fiqih Shiyam (Bag 1)

Fiqih Shiyam (Bagian ke-1)

Oleh: Tim Kajian Manhaj Tarbiyah

Kirim Print
I. Ketentuan Puasa
A. Terjemah Surat Al- Baqarah ayat 183-184
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ﴿١٨٣﴾أَيَّامًا مَّعْدُودَاتٍ ۚ فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۚ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ ۖ فَمَن تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَّهُ ۚ وَأَن تَصُومُوا خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ﴿١٨٤﴾
Hai Orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa. (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa)  sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barang siapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (QS. Al-Baqarah: 183-184)
B. Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 183-187
1. Mufradat:
كتبَ عليكم
Diwajibkan atas kamu semua
أياماً معدودات
Bulan Ramadhan
فعدَّةٌ
Yang wajib baginya adalah puasa setelah Ramadhan sejumlah hari yang ditinggalkan selama Ramadhan
يطيقونه
Mampu berpuasa dengan berat, atau tidak mampu sama sekali seperti orang tua dan ibu hamil dan menyusui
فِديَة
Berbuka dan membayar fidyah, yaitu memberi makan seorangmenambahkan makanan, atau berpuasa dan memberi makan
yang membedakan antara hak dan bathil
فِديَة
Bekal dalam memberi makan, atau puasa sambil memberi makan
الفرقان
apa yang dapat membedakan antara yang haq dan batil.
فمن شهدَ منكم الشهرَ
barang siapa yang datang Ramadhan sedang ia dalam keadaan mukim, bukan musafir berakal dan sudah baligh
ولتُكملوا العِدّة
agar kau sempurnakan puasa Ramadhan, dengan berpuasa menggantikan hari-hari yang kau tinggalkan setelah bulan Ramadhan
الرفَثُ إلى نسائكم
bahasa halus dari hubungan suami istri
تختانون أنفُسَكم
menganggapnya berkhianat, karena ingin makan, minum dan berhubungan suami istri di waktu malam, padahal itu haram
فتابَ عليكم
telah diringankan beban berat ini
باشروهن
kata lain dari hubungan suami istri
وابتغوا
carilah
حتى يتبيَّن لكم الخيط الأبيض من الخيط الأسودputihnya siang dan hitamnya malam
إلى الليل
sehingga terbenam matahari
عاكفون
dalam keadaan beri’tikaf. Arti I’tikaf: diam di masjid dengan niat beribadah, orang yang beri’tikaf tidak diperbolehkan berhubungan suami istri


Ilustrasi (inet)
2. Ta’rif  Shiyam dan Masyru’iyyahnya
Shiyam adalah menahan diri dari hal-hal yang membatalkan sejak terbit fajar sampai terbenam matahari disertai dengan niat. Allah mewajibkan puasa Ramadhan kepada kaum muslimin ini pada tahun kedua hijriyah, tanggal 2 Sya’ban.
Hukum shiyam ini disampaikan dalam tiga tahap, yaitu:
Tahap pertama: Puasa diwajibkan dengan pilihan, siapa yang mau berpuasa dipersilakan dan siapa yang tidak mau dipersilakan pula, meskipun mampu, dengan membayar fidyah. Itulah firman Allah: QS. 2: 184, artinya Bagi orang yang tidak mampu puasa dan tidak berpuasa, ia wajib memberi makan seorang miskin, menggantikan puasa sehari
Tahap Kedua: puasa diwajibkan tanpa pilihan, dan diberikan rukhshah bagi orang yang sakit. Musafir berbuka dan berpuasa setelah Ramadhan menggantikan hari yang ditinggalkan. Itulah firman Allah: QS. 2: 185
Tahap Ketiga: diperbolehkan makan minum dan hubungan suami istri, sejak terbenam matahari hingga terbit fajar hari berikutnya. Pada dua marhalah sebelumnya jika orang yang berpuasa sudah tidur maka ia haram makan minum dan hubungan suami istri sampai hari berikutnya, sehingga hal ini memberatkan kaum muslimin, maka turunlah ayat QS.2:187 Dihalalkan bagimu……sampai firman Allah…dan makan minumlah sehingga jelas bagimu benang putih dari benang merah…
Ulama Islam telah berijma tentang kewajiban puasa di bulan Ramadhan, yang merupakan salah satu rukun Islam, dan mengingkarinya dianggap murtad.
3. Syarat-syarat shiyam
Syarat shiyam ada dua macam yaitu:
  1. syarat wajib shiyam, artinya syarat yang membuat puasa wajib bagi seseorang, yaitu: Islam, Mukallaf (akil baligh) dan mampu berpuasa. Puasa tidak diwajibkan pada yang tidak muslim, tidak wajib pula pada muslim yang belum mukallaf, seperti orang gila, anak-anak, walaupun anak-anak disuruh puasa sebagai latihan, bahkan dipukul jika tidak puasa ketika sudah berusia 10 tahun, dan telah dianggap shah puasanya ketika sudah masuk usia mumayyiz (kurang lebih tujuh tahun). Sebagaimana tidak wajib puasa atas orang yang tidak mampu sama sekali, seperti orang tua, orang sakit berat, hanya wajib fidyah.
  2. syarat pelaksanaan atau keabsahan. Yaitu syarat yang harus dipenuhi agar puasanya sah dan diterima, yaitu: Islam, Mumayyiz (bagi anak-anak) bersih dari haidh dan nifas. Orang yang sedang haidh dan nifas wajib berpuasa, tapi tidak sah puasanya sehingga keduanya bersuci, keduanya tidak puasa selama masa haidh dan nifasnya, sehingga ketika keduanya suci ia wajib puasa menggantikan hari yang ditinggalkan. Sebagaimana disyaratkan bagi sahnya puasa itu, harus pada hari-hari yang tidak dilarang berpuasa, seperti hari ied dll.
– Bersambung

Pengunjung