Selamat Datang Diblog MADRASAH DINIYAH AL YAQIN. Terima kasih anda sudah mengunjungi Blog kami.

Senin, 25 Juli 2011

EKSISTENSI MADRASAH DI ERA MODERN

Masyarakat kita saat ini sudah modern dan maju dalam banyak segi kehidupan terutama sosial budaya. Saat ini tolak ukur masyarakat dalam memandang nilai-nilai budaya sudah semakin jelas dan mengerucut pada pemenuhan kebutuhan material semata yang dalam hal ini diwakili oleh atau atas nama kepentingan ’ekonomi’. Padahal sejujurnya dan yang selalu kita dengung-dengungkan bahwa bangsa kita adalah bangsa yang bermoral, beradab dan berbudaya, atau lebih tegasnya bangsa yang religius. Ini tampak jelas pada sila pertama dan kedua dalam Pancasila yang merupakan dasar negara ini.
Di era yang sudah modern ini, madrasah sebagai lembaga pendidikan yang mengedepankan moralitas dan nilai-nilai keagamaan sebagai basis konsentrasi pengembangan pendidikannya masih dipandang sebelah mata oleh kebanyakan masyarakat kita, mereka lebih memilih untuk menyekolahkan putra-putri mereka di sekolah umum yang dianggap lebih jelas dan lebih terarah tujuan pendidikannya. Lemahnya eksistensi madrasah atau pendidikan keagamaan pada umumnya merupakan sebuah akibat dari kelemahan sistemik yang dibangun oleh negara ini pada sektor pendidikan. Merujuk pada akar sejarah munculnya madrasah adalah sebagai reaksi atas pola pendidikan yang dibangun oleh pemerintahan Belanda di zaman penjajahan, maka sudah seharusnya kita merefleksikan kembali spirit tersebut dalam mengembangkan madrasah. Dengan tugas utama meraih kembali citra positif sebagai model pendidikan lokal yang kental dengan nuansa lokal dan tentunya seiring sejalan dengan karakter kebangsaan Indonesia sebagai bangsa yang bermoral. Karena pendidikan pada hakikatnya adalah proses pembentukan watak individu, maka lembaga pendidikan sudah semestinya menjadi lingkungan positif bagi pertumbuhan watak generasi bangsa ini, bukan semata menjadi training center untuk memenuhi kebutuhan industri atau lapangan pekerjaan yang juga belum cukup signifikan keberadaannya sebagai penopang struktur ekonomi kebangsaan.
Medidik generasi adalah merencanakan apa dan bagaimana bentuk generasi mendatang serta disesuaikan dengan kebutuhan zaman. Berangkat dari cita-cita pembentukan negara ini demikianlah seharusnya generasi bangsa diproses dalam dunia pendidikan yang melliputi pembentukan karakter, pengembangan potensi, dan eksplorasi sumberdaya manusia. Tiga tahapan inilah yang seharusnya diletakkan secara simbang satu sama lain dalam rangka memenuhi keseimbangan unsur pendidikan rohani dan jasmani, pendidikan ukhrowi dan duniawi.
Saat ini jika kita kembali pada kenyataan bahwa madrasah kita masih memiliki banyak kesan ’negatif’ dalam perspektif masyarakat modern, maka perlu kita rumuskan kembali pengertian modernitas dalam perspektif pendidikan untuk kemudian mengaransemen kembali tata laksana pendidikan yang seharusnya diterapkan bagi generasi kita, khususnya pendidikan keagamaan sebagai basis ide model pendidikan madrasah.
Beberapa konsep pengembangan yang pada mulanya menjadi ciri khas dari madrasah saat ini perlahan hilang dan beralihdengan sedikit modifikasi menjadi ciri sekolah-sekolah yang mengambil klaim umum, hal ini disadari atau tidak bukan semata mengakibatkan degradasi nilai madrasah akan tetapi juga mengikis keabsahan madrasah sebagai cikal bakal model pendidikan yang secara historis melekat dengan bangsa Indonesia, karena madrasah bukan ciptaan Belanda dan juga bukan buatan Jepang tetapi hasil ijtihad para ulama madrasah dalam menjembatani kepentingan masyarakat dengan dunia pendidikan dan pemerintah pada saat itu. Atau setidaknya kalaupun model madrasah akan tetap bertahan dalam desakan modernitas sosial dan budaya masyarakat maka nilai-nilai keagamaan yang menjadi landasan utama kurikulum madrasah akan terdegradasi.
Di antara dua sisi kecenderungan inilah kondisi madrasah saat ini mengikuti perubahan mutlak dan tercerabut dari akar historisnya atau bertahan dan tertinggal dari model pendidikan lainnya karena dianggap tidak mampu merespon kebutuhan masyarakat modern. Mengingat betapa kuatnya tarikan ideologis antar keduanya dan untuk tidak kembali terjebak pada perseteruan ide yang tidak produktif, madrasah harus bisa diposisikan sebagai institusi netral yang tidak terbebani oleh hegemoni masa lalu dan juga kepentingan modernitas. Kebijakan dan langkah-langkah yang diambil oleh semua pihak baik pemerintah ataupun pengelola harus dilakukan dalam koridor penguatan internal kelembagaan sebagai modal dasar penguatan basis ide dan konseptualisasi model pengembangan madrasah.

Dengan mengangkat kesadaran akan urgensi madrasah sebagai model pendidikan moralitas bangsa yang kian kering di era modern ini sekaligus benteng pembentukan karakter generasi masa depan sudah seharusnya ini menjadi agenda strategis dalam konsep pendidikan bangsa ini, yaitu dengan memposisikan madrasah sejajar dengan model pendidikan umum dalam undang-undang negara sehingga kemudian diharapkan akan berproses menuju penemuan kemballi makna yang hilang dari madrasah sebagai institusi pendidikan yang mengakar di masyarakat, mewakili kepentingan masyarakat dan juga menjadi kebanggaan masyarakat.

Minggu, 24 Juli 2011

ORIENTASI PENDIDIKAN KEAGAMAAN HARUS SEIMBANG

Dalam pandangan Islam ada tiga istilah yang terkait dengan konotasi pendidikan yaitu, ta’lim, ta’dib dan tarbiyah, masing-masing istilah ini memiliki arti dan makna yang berbeda-beda, namun ketiganya bermuara pada konsep dasar pendidikan yaitu sebagai upaya untuk mempersiapkan generasi mendatang untuk menjalankan kehidupan dan memenuhi tujuan hidupnya secara efektif dan efisien. Dari ketiga istilah tersebut di Indonesia, kata tarbiyah mungkin lebih populer sebagai pendidikan dari pada ta’lim dan ta’dib. Ini terlihat pada kebanyakan nama lembaga yang bergerak di bidang pendidikan menggunakan kata tarbiyah sedangkan majelis ta’lim misalnya lebih mewakili pada lembaga-lembaga yang bergerak di bidang dakwah.

Dalam konteks kekinian dan realitas keindonesiaan, pendidikan Islam atau tarbiyah al-islamiyah setidaknya terdapat tiga jenis, pertama, pendidikan keagamaan, artinya Islam diletakkan dalam posisi sebagai bidang studi (mata pelajaran) yang sejajar dengan bidang studi lainnya yang bukan kategori keagamaan, ini terlihat pada bentuk sekolah-sekolah umum. Kedua, sebagai sebuah model pendidikan yang juga dicerminkan dalam nama lembaga dan kegiatan-kegiatannya (sekolah Islam), sedangkan yang ketiga, sebagai antithesis dari keduanya yaitu sebagai pendidikan keagamaan dan sekaligus menerapkannya sebagai model pendidikan (pendidikan diniyah dan pondok pesantren).
Dalam pendidikan Islam, tujuan tidak sekedar menyangkut persoalan ciri khas, melainkan lebih mendasar lagi, yaitu sesuatu yang diidamkan dan diyakini sebagai yang paling ideal. Atau dalam pembahasan filsafatnya diistilahkan sebagai “insan kamil“ atau manusia paripurna. Hal ini dapat terwujud dengan upaya mengembangkan kepribadian manusia yang bersifat menyeluruh secara harmonis berdasarkan potensi psikologis dan fisiologis. Sangat penting bagi kita untuk merumuskan tujuan dalam proses pendidikan, agar dapat menetapkan langkah-langkah yang akan dijalani selama proses itu berlangsung. Dalam Islam, tujuan pendidikan dengan jelas mengarah kepada terbentuknya insan kamil seorang muslim yang teguh dalam menjalankan agama dan nemiliki kecerdasan yang tinggi serta akhlaq dan budi pekerti yang luhur dalam bergaul dengan sesama manusia atau yang biasa kita kenal dengan kecerdasan IQ, EQ dan SQ.
Keseimbangan antara Dunia dan Ukhrowi
Bertolak dari rumusan tujuan pendidikan di atas, maka sistem pendidikan berorientasi pada persoalan dunia dan akhirat sekaligus. Meskipun dalam prakteknya cukup banyak lembaga-lembaga Islam yang cenderung mementingkan dimensi keakhiratan semata, dari pada keduaniawian. Ini terjadi karena kehidupan ukhrowi dipandang sebagai kehidupan yang sesungguhnya dan terakhir, sedangkan kehidupan duniawi bersifat sementara, bukan yang terakhir. Namun demikian, pada dasarnya pendidikan Islam memperhatikan keseimbangan dua kehidupan tersebut dan tidak bisa diabaikan begitu saja. Aspek keduniawian, karena sebagai manusia yang mengemban tugas kekhalifahan di muka bumi ini harus pula membekali dengan ilmu-ilmu keduniawian dan perkembangannya sehinggga dapat memenuhi tugas itu secara maksimal.
Dikotomi antara dunia dan akhirat, dikotomi antara unsur-unsur kebendaan dan unsur agama, materialisme dan orientasi nilai-nilai ilahiah semata, justru akan melahirkan manusia yang berkepribadian terbelah (split personality). Mereka yang memilih keberhasilan di alam ‘vertikal’ cenderung berfikir bahwa kesuksesan dunia justru adalah sesuatu yang bisa “dinisbikan” atau sesuatu yang bisa demikian mudahnya “dimarjinalkan”. Hasilnya mereka unggul dalam kekhusyuan dzikir dan kekhidmatan berkontemplasi namun kalah dalam percaturan ilmu pengetahuan, ekonomi, sosial, politik dan kebudayaan di alam “horizontal”, begitupun sebaliknya yang hanya berpijak pada alam kebendaan, kekuatan berfikirnya tidak pernah diimbangi dengan kekuatan dzikir. Realitas kebendaan yang masih membelenggu hati, tidak memudahkan baginya untuk berpijak pada alam fitrahnya (zero mind), padahal sistem pendidikan Islam menekankan pada pembentukan kepribadian yang berujung pada fitrah dasar manusia untuk ma’rifah Allah dan bertaqwa kepada-Nya, seperti diungkapkan oleh Muhammad Fadhil Al-Jumaly yang dikutip oleh Mastuhu, menunjukkan keterikatan duniawiyah dan ukhrowiyah sekaligus.
Karena itu, salah satu prinsip sistem pendidikan Islam adalah keharusan untuk menggunakan metode pendekatan yang menyeluruh terhadap manusia yang meliputi dimensi jasmani-rohani dan semua aspek kehidupan, baik yang dapat dijangkau akal maupun yang hanya diimani melalui kalbu, bukan hanya lahiriyahnya saja tetapi juga batiniyahnya.
Perpaduan antara Ranah Kognitif, Afektif dan Psikomotorik
Hakekat pendidikan adalah suatu usaha mengantarkan peserta didik untuk dapat menggali potensi dirinya menjadi suatu realitas yang real. Oleh karena itu, kegiatan dan proses belajar-mengajar dalam suatu pendidikan adalah penumbuhan dan pengembangan peserta didik sesuai dengan hakekat potensialnya tersebut. Dalam pengembangan potensi-potensi yang ada pada diri peserta didik, dipahami bahwa suatu pendidikan yang baik harus menjawab tiga ranah kemanusiaan yakni ranah kognitif (intelektual), ranah afektif (emosional), dan ranah psikomotorik (pengamalan). Tidak ada proses pendidikan yang dianggap sempurna jika meninggalkan salah satu diantara ketiga ranah tersebut. Pendidikan yang hanya cenderung pada ranah kognitif saja akan melahirkan generasi yang genius secara intelektual tetapi kering emosional dan rendah kualitas pengamalannya.
Pengetahuan kognitif dan diikuti kesadaran emosi saja tidak dapat menggali potensi realitas secara optimal, namun harus diikuti dengan penggarapan ranah psikomotorik. Dengan pengetahuan dan kesadaran yang tercipta karena kepemilikan pengetahuan intelektual dan memiliki keinginan untuk berbuat oleh adanya dorongan emosional, tetapi tidak dapat benar-benar terwujud suatu tindakan yang nyata akibat tidak tergarapnya ranah psikomotorik. Penggarapan ranah psikomotorik terkait dengan pengembangan etos kejujuran, kerja keras, profesional, kesopanan, dan sosial-filantropik dalam bentuk disiplin dan latihan-latihan nyata.
Dengan demikian pendidikan Islam, dalam prosesnya, menyertakan program intensif peningkatan intelektual dan menghidupkan aspek spiritual yang akhirnya dapat menjadi modal untuk hidup dalam kebudayaan bangsa yang selalu berkembang seiring pencapaian kemajuan peradaban manusia. [HI]

Madrasah Diniyah: Kesadaran Membangun Masyarakat Religius

Pendidikan keagamaan sebagai sarana bagi penanaman nilai-nilai sosial dan budaya bangsa ini masih cukup relevan dan strategis dalam membangun bangsa ini. Masyarakat Indonesia yang notabene adalah masyarakat religius yang meletakkan agama sebagai referens nilai dan juga dasar pemikiran dalam mengembangkan budaya dan norma-norma kehidupan. Kenyataan ini dapat kita lihat pada bentuk-bentuk tradisi yang selalu diwarnai oleh ritual keagamaan, setidaknya setiap praktek tradisi yang berlangsung dan berkembang di masyarakat kita tidak luput dari untaian do’a dan harapan-harapan yang berlandaskan pada kesadaran spiritual pada tingkatan individu yang kemudian terwarisi turun-temurun dari generasi ke generasi.

Kesadaran spiritual tinggi yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia pulalah yang juga menjadi motivasi dalam proses perebutan hak kemerdekaan bangsa kita dari tangan penjajah, banyak simpul-simpul gerakan kemerdekaan di masa penjajahan yang merupakan tokoh-tokoh keagamaan seperti kiyai dan ulama yang diikuti oleh para murid dan santrinya. Artinya spiritualitas yang dimiliki bangsa ini berhasil membawa pencerahan untuk bangkit dan berdiri melawan segala bentuk penindasan di masa penjajahan. Kenyataan yang cukup kontradiktif dengan hal itu saat ini terjadi pada bangsa kita di era modern. Moderrnitas pada tahap yang sudah nyata saat ini telah mampu menggeser nilai-nilai spiritualitas yang merupakan kekuatan moral masyarakat, rasiionalisme yang berkembang dalam bentuk pencapaian-pencapaian kebutuhan materil telah menggantikan kepuasan batin dalam sosok individu-individu manusia Indonesia.
Dalam banyak pembahasan kesadaran akan pentingnya penanaman nilai-nilai keagamaan memang mendapatkan perhatian serius, hal ini tak lain karena realitas kekinian yang semakin mengkhawatirkan khususnya di kalangan generasi muda kita, persoalan yang muncul semakin kompleks karena konteks sosial yang juga rumit untuk dipahami dalam pola fikir mereka, fenomena tawuran pelajar, kasus-kasus narkoba, kebebasan seksual dan gaya hidup metropolis lainnya semakin dekat dengan generasi muda kita, bukan hanya di perkotaan, namun sudah menghilangkan sekat-sekat geografis, keadaan ini semakin hari semakin merata. Kegelisahan dapat kita rasakan, namun akar dari kegelisahan itu masih sulit untuk kita temukan sebagai starting point dalam merangkai kembali jalinan nilai yang memudar perlahan dalam dinamika kehidupan modern yang tak terkendali.
Agama masih kita yakini sebagai solusi dan ini ada dalam benak kejiwaan setiap kita, tetapi sekat yang muncul dari realitas modern kehidupan semakin menjauhkan sistem nilai kita dari norma-norma keagamaan yang kita yakini, dan mengarahkan pola fikir kita pada pemilahan antara kebutuhan riil (duniawi) dan kebutuhan abstrak (ukhrowi). Inilah tantangannya dan demikianlah keadaan batin setiap orang Indonesia di masa kini. Lalu bagaimana kita melangkah dan menentukan arah kebijakan untuk generasi mendatang, sementara hari ini kita tidak mampu menyelesaikan kontradiksi internal pada tataran ideologis yang kita anut.
Madrasah memiliki poin penting untuk diusung sebagai kekuatan dalam menggalang kembali kepercayaan diri bangsa ini untuk mandiri dengan ide-ide dasar kehidupan bangsa yang memang telah dan pernah kita miliki, spritualitas yang termanifestasi dalam prikehidupan sosial dan kemasyarakatan dan tetap menghargai konteks kemajemukan yang kita miliki. Ada beberapa hal yang penting untuk dicatat sebagai potensi ideal yang masih dimiliki oleh madrasah diniyah misalnya, pertama, berangkat dari kebutuhan masyarakat, dikelola dan dikembangkan oleh masyarakat serta selalu bergerak dinamis dalam konteks kemasyarakatannya, artinya integritas ideologis madrasah diniyah betul-betul merepresentasikan sebagai gerakan kemasyarakatan yang masih relatif murni dan terlepas dari kepentingan-kepentingan lain seperti ekonomi dan politik misalnya. Kedua, semua itu terjadi karena orisinalitas ide madrasah diniyah yang memang berakar kuat secara historis pada masyarakat, dan ketiga, keberpihakan pada masyarakat lemah masih dominan dalam visi kemasyarakatan madrasah, sistem administrasi yang meskipun kurang profesional namun sangat toleran terhadap kondisi ekonomi masyarakatnya, SPP yang ringan atau mungkin tidak ada sama sekali (prinsip keikhlasan).
Beberapa poin diatas cukuplah untuk kita menyimpulkan bahwa di tengah modernitas kehidupan bangsa kita ada kerinduan pada hilangnya norma-norma yang menjadi pedoman hidup kita di masa lalu, spiritualitas moralitas dan kerukunan adalah tiga landasan hidup yang mulai memudar dan sering menjadi bencana sosial di lingkungan masyarakat. Dengan mengembalikan ketiga nilai tersebut melalui langkah strategis berupa penguatan internal kelembagaan madrasah semoga kita bisa kembali meraih apa yang telah hilang dari kesadaran kita dan menjadikannya sebagai karakter pribadi bangsa Indonesia yang moralis, mandiri dan dengan kualifikasi Imtaq dan Iptek sesuai dengan slogan yang selalu kita suarakan. Wallahu a’lam….. [HI]

Rabu, 20 Juli 2011

Tentang Madrasah Diniyah

Pengertian Madrasah Diniyah

Sejarah Islam di Indonesia memperlihatkan bahwa pendidikan keagamaan di sini tumbuh dan berkembang seiring dengan dinamika kehidupan masyarakat Muslim. Selama kurun waktu yang panjang, pendidikan keagamaan Islam berjalan secara tradisi, berupa pengajian al-Qur’an dan pengajian kitab, dengan metode yang dikenalkan (terutama di Jawa) dengan nama sorogan, bandongan dan halaqah. Tempat belajar yang digunakan umumnya adalah ruang-ruang masjid atau tempat-tempat shalat “umum” yang dalam istilah setempat disebut: surau, dayah, meunasah, langgar, rangkang, atau mungkin nama lainnya.

Perubahan kelembagaan paling penting terjadi setelah berkembangnya sistem klasikal, yang awalnya diperkenalkan oleh pemerintah kolonial melalui sekolah-sekolah umum yang didirikannya di berbagai wilayah Nusantara. Di Sumatera Barat pendidikan keagamaan klasikal itu dilaporkan dipelopori oleh Zainuddin Labai el-Junusi (1890-1924), yang pada tahun 1915 mendirikan sekolah agama sore yang diberi nama “Madrasah Diniyah” (Diniyah School, al-Madrasah al-Diniyah) (Noer 1991:49; Steenbrink 1986:44). Sistem klasikal seperti rintisan Zainuddin berkembang pula di wilayah Nusantara lainnya, terutama yang mayoritas penduduknya Muslim. Di kemudian hari lembaga-lembaga pendidikan keagamaan itulah yang menjadi cikal bakal dari madrasah-madrasah formal yang berada pada jalur sekolah sekarang. Meskipun sulit untuk memastikan kapan madrasah didirikan dan madrasah mana yang pertama kali berdiri, namun Departemen Agama (dahulu Kementerian Agama) mengakui bahwa setelah Indonesia merdeka sebagian besar sekolah agama berpola madrasah diniyahlah yang berkembang menjadi mad-rasah-madrasah formal (Asrohah 1999:193). Dengan perubahan tersebut berubah pula status kelembagaannya, dari jalur “luar sekolah” yang dikelola penuh oleh masyarakat menjadi “sekolah” di bawah pembinaan Departemen Agama.


Meskipun demikian tercatat masih banyak pula madrasah diniyah yang mempertahankan ciri khasnya yang semula, meskipun dengan status sebagai pendidikan keagamaan luar sekolah. Pada masa yang lebih kemudian, mengacu pada Peraturan Menteri Agama Nomor 13 Tahun 1964, tumbuh pula madrasah-madrasah diniyah tipe baru, sebagai pendidikan tambahan berjenjang bagi murid-murid sekolah umum. Madrasah diniyah itu diatur mengikuti tingkat-tingkat pendi-dikan sekolah umum, yaitu Madrasah Diniyah Awwaliyah untuk murid Sekolah Dasar, Wustha untuk murid Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, dan ‘Ulya untuk murid Sekolah Lanjutan Tingkat Atas. Madrasah diniyah dalam hal itu dipandang sebagai lembaga pendidikan keagamaan klasikal jalur luar sekolah bagi murid-murid sekolah umum. Data EMIS (yang harus diperlakukan sebagai data sementara karena ketepatan-nya dapat dipersoalkan) mencatat jumlah madrasah diniyah di Indonesia pada tahun ajaran 2005/2006 seluruhnya 15.579 buah dengan jumlah murid 1.750.010 orang.

Berdasarkan Undang-undang Pendidikan dan Peraturan Pemerintah. Madrasah Diniyah adalah bagian terpadu dari pendidikan nasional untuk memenuhi hasrat masyarakat tentang pendidikan agama. Madrasah Diniyah termasuk ke dalam pendidikan yang dilembagakan dan bertujuan untuk mempersiapkan peserta didik dalam penguasaan terhadap pengetahuan agama Islam.

UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang ditindaklanjuti dengan disyahkannya PP No. 55 Tahun 2007 tentang pendidikan agama dan keagamaan memang menjadi babak baru bagi dunia pendidikan agama dan keagamaan di Indonesia. Karena itu berarti negara telah menyadari keanekaragaman model dan bentuk pendidikan yang ada di bumi nusantara ini.


Keberadaan peraturan perundangan tersebut seolah menjadi ”tongkat penopang” bagi madrasah diniyah yang sedang mengalami krisis identitas. Karena selama ini, penyelenggaraan pendidikan diniyah ini tidak banyak diketahui bagaimana pola pengelolaannya. Tapi karakteristiknya yang khas menjadikan pendidikan ini layak untuk dimunculkan dan dipertahankan eksistensinya.


Secara umum, setidaknya sudah ada beberapa karakteristik pendidikan diniyah di bumi nusantara ini. Pertama, Pendidikan Diniyah Takmiliyah (suplemen) yang berada di tengah masyarakat dan tidak berada dalam lingkaran pengaruh pondok pesantren. Pendidikan diniyah jenis ini betul-betul merupakan kreasi dan swadaya masyarakat, yang diperuntukkan bagi anak-anak yang menginginkan pengetahuan agama di luar jalur sekolah formal. Kedua, pendidikan diniyah yang berada dalam lingkaran pondok pesantren tertentu, dan bahkan menjadi urat nadi kegiatan pondok pesantren. Ketiga, pendidikan keagamaan yang diselenggarakan sebagai pelengkap (komplemen) pada pendidikan formal di pagi hari. Keempat, pendidikan diniyah yang diselenggarakan di luar pondok pesantren tapi diselenggarakan secara formal di pagi hari, sebagaimana layaknya sekolah formal.

Ciri-ciri Madrasah Diniyah

Dengan meninjau secara pertumbuhan dan banyaknya aktifitas yang diselenggarakan sub-sistem Madrasah Diniyah, maka dapat dikatakan ciri-ciri ekstrakurikuler Madrasah Diniyah adalah sebagai berikut:

  1. Madrasah Diniyah merupakan pelengkap dari pendidikan formal.
  2. Madrasah Diniyah merupakan spesifikasi sesuai dengan kebutuhan dan tidak memerlukan syarat yang ketat serta dapat diselenggarakan dimana saja.
  3. Madrasah Diniyah tidak dibagi atas jenjang atau kelas-kelas secara ketat.
  4. Madrasah Diniyah dalam materinya bersifat praktis dan khusus.
  5. Madrasah Diniyah waktunya relatif singkat, dan warga didiknya tidak harus sama.
  6. Madrasah Diniyah mempunyai metode pengajaran yang bermacammacam.

Kurikulum yang digunakan Madrasah Diniyah

Berdasarkan Undang-undang Pendidikan dna Peraturan pemerintah no 73 tahun 1991 pada pasal 1 ayat 1 disebutkan “Penyelenggaraan pendidikan diluar sekolah boleh dilembagakan dan boleh tidak dilembagakan”. Dengan jenis “pendidikan Umum” (psl 3. ayat.1). sedangkan kurikulum dapat tertulis dan tertulis (pasl. 12 ayat 2). Bahwa Madrasah DIniyah adalah bagian terpadu dari system pendidikan nasional yang diselenggarakan pada jalur pendidikan luar sekolah untuk memenuhi hasrat masyarakat tentang pendidikan agama. Madarsah Diniyah termasuk kelompok pendidikan keagamaan jalur luar sekolah yang dilembagakan dan bertujuan untuk mempersiapkan peserta didik menguasai pengetahuan agama Islam, yang dibina oleh Menteri Agama (PP 73, Pasal 22 ayat 3). Oleh karena itu, maka Menteri Agama d/h Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam menetapkan Kurikulum Madrasah Diniyah dalam rangka membantu masyarakat mencapai tujuan pendidikan yang terarah, sistematis dan terstruktur. Meskipun demikian, masyarakat tetap memiliki keleluasaan unutk mengembangkan isi pendidikan, pendekatan dan muatan kurikulum sesuai dengan kebutuhan dan leingkungan madrasah.

Madrasah diniyah mempunyai tiga tingkatan yakni : Diniyah Awaliyah, Diniyah Wustha dan Diniyah Ulya. Madrasah DIniah Awaliyah berlangsung 4 tahun (4 tingkatan), dan Wustha 2 tahun (2 tingkatan). Input Siswa Madrasah Diniyah Awaliyah diasumsikan adalah siswa yang belakar pada sekolah Dasar dan SMP/SMU.

Sebagai bagian dari pendidikan luar sekolah, Madrasah Diniyah bertujuan :
  1. Melayani warga belajar dapat tumbuh dan berkembangn sedini mungkin dan sepanjang hayatnya guna meningkatkan martabat dan mutu kehidupanya.
  2. Membina warga belajar agar memiliki pengetahuan, keterampilan dan sikap mental yang diperluakan untuk mengembangkan diri, bekerja mencari nafkah atau melanjutkan ketingkat dan /atau jenjang yang lebih tinggi, dan
  3. Memenuhi kebutuhan belajar masyarakat yang tidak dapat dipenuhi dalam jalur pendidikan sekolah (TP 73 Pasal.2 ayat 2 s.d 3).
Untuk menumbuh kembangkan ciri madrasah sebagai satuan pendidikan yang bernapaskan Islam, amka tujuan madrasah diniyah dilengkapi dengan “memberikan bekla kemampuan dasar dan keterampilan dibidang agama Islam untuk mengembangkan kehidupannya sebagai pribadi muslim, anggota masyarakat dan warga Negara”. Dalam program pengajaran ada bebarapa bidang studi yang diajarkan seperti Qur’an Hadits, Aqidah Akhlak, Fiqih, Sejarah Kebudayaan Islam, Bahasa Arab, dan Praktek Ibadah.

Dalam pelajaran Qur’an-Hadits santri diarahkan kepada pemahaman dan penghayatan santri tentang isi yang terkandung dalam qur’an dan hadits. Mata pelajaran aqidah akhlak berfumgsi untuk memberikan pengetahuan dan bimbingan kepada santri agar meneladani kepribadian nabi Muhammad SAW, sebagai Rasul dan hamba Allah, meyakini dan menjadikan Rukun Iman sebagai pedoman berhubungan dengan Tuhannya, sesame manusia dengan alam sekitar, Mata pelajaran Fiqih diarahkan untuk mendorong, membimbing, mengembangkan dan membina santri untuk mengetahui memahami dan menghayati syariat Islam. Sejarah Kebudayaan Islam merupakan mata pelajaran yang diharapkan dapat memperkaya pengalaman santri dengan keteladanan dari Nabi Muhammad SAW dan sahabat dan tokoh Islam. Bahasa Arab sangat penting untuk penunjang pemahaman santri terhadap ajaran agama Islam, mengembangkan ilmu pengetahuan Islam dan hubungan antar bangsa degan pendekatan komunikatif. Dan praktek ibadah bertujuan melaksanakan ibadah dan syariat agama Islam.

Kurikulum Madrasah Diniyah pada dasarnya bersifat fleksibel dan akomodatif. Oleh karena itu, pengembangannya dapat dilakukan oleh Departemen Agama Pusat Kantor WilayahDepag Propinsi dan Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kotamadya atau oleh pengelola kegiatan pendidikan sendiri. Prinsip pokok untuk mengembangkan tersebut ialah tidak menyalahi aturan perundang-undangan yang berlaku tentang pendidikan secara umum, peraturan pemerintah, keputusan Menteri Agama dan kebijakan lainnya yang berkaitan dengan penyelenggaraan madrasah diniyah.

Senin, 18 Juli 2011

Artikel Anak

Ayah pelukis masa depan anak


Oleh: Muhammad Yusuf Efendi

0diggsdigg
email
Ayah adalah pelukis kehidupan anaknya, dan akan menjadi bagian penoreh sejarah kehidupannya. Bahkan keberhasilan anak yang menoreh sejarah yang hebat, akan melibatkan peran ayah sebagai guru bagi anaknya. Setiap gores pena kehidupan seorang ayah akan menampilkan bentuk kehidupan yang akan dimiliki oleh anaknya kelak.
Masa muda bagi anak adalah masa yang menyenangkan, masa mereka melihat hal yang baru, dan mencobanya. Masa mereka mulai untuk mandiri menapaki jalan hidupnya sendiri. Masa seorang anak mulai melakukan sesuatu yang mirip dengan apa yang dapat dilakukan oleh ayahnya. George Bernard Shaw mengatakan bahwa “Masa muda adalah masa terindah; sayang sekali orang muda suka menyia-nyiakannya.” Ayah adalah pengantar anak-anaknya untuk menghadapi masa muda dengan hal-hal yang dapat mendatangkan manfaat. Prinsip berbagi manfaat yang diajarkan Al-Quran kepada kita adalah, kebaikan yang dilakukan kepada orang lain, pada akhirnya akan kembali kepada pelakunya sendiri. Kitalah yang akan lebih banyak menerima manfaat daripada orang yang menerima pertolongan kita. Allah SWT berfirman di surat Al-Isra’ ayat ke-7.
إِنْ أَحْسَنتُمْ أَحْسَنتُمْ لِأَنفُسِكُمْ ۖ وَإِنْ أَسَأْتُمْ فَلَهَا ۚ
Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri,”(QS. Al-Isra’[17]:7)
Karya monumental terbesar dari seorang ayah dalam hidupnya adalah ketika ia mampu membentuk anak-anak yang kuat dan soleh yang bermanfaat bagi ummat ini. Mereka menjadi muslim yang kuat dan kokoh, menjadi duta masyarakatnya dengan ilmu yang dimilikinya. Dari sahabat Abu Hurairah RA, bersabda Rasulullah SAW, “Mu’min yang kuat lebih dicintai Allah dari mu’min yang lemah, dan masing-masing memiliki kebaikan. Bersemangat lah terhadap hal-hal yang bermanfaat bagimu dan mohonlah pertolongan kepada Allah dan jangan merasa malas, dan apabila engkau ditimpa sesuatu maka katakanlah “Qodarulloh wa maa syaa’a fa’al, Telah ditakdirkan oleh Allah dan apa yang Dia kehendaki pasti terjadi”(HR. Muslim)
Allah SWT berfirman di surat An-Nisa yang ditujukan kepada orang tua,
وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا
Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.(QS. An-Nisa[4]:9)
Dalam tafsirnya Ibnu Katsir mengatakan Ali bin Abi Thalhah berkata dari Ibnu ‘Abbas RA, ”Ayat ini berkenaan dengan seorang laki-laki yang meninggal, kemudian seseorang mendengar ia memberikan wasiat yang membahayakan ahli warisnya, maka Allah SWT memerintahkan orang yang mendengarkannya untuk bertakwa kepada Allah serta membimbing dan mengarahkannya kepada kebenaran.”
Keberhasilan masa depan anak bukan karena umur atau kemampuan terbatas yang dimilikinya. Ayahnya harus mampu mengayunkan kuas di atas kain kanvas. Kecantikan lukisan dibentuk dari beberapa ayunan kuas yang banyak, mereka se irama dan saling mengisi. Perpaduan warna yang indah disertai gradasi warna yang anggun membentuk pelangi di langit. Warna biru dan putih membentuk warna air di laut lepas. Warna hijau membentuk suasana pepohonan yang berjajar terlihat anggun. Semua goresan kuas sang ayah membentuk semua warna kehidupan si anak. Menari-nari mengikuti irama kehidupan.
Masih ingat cerita kesuksesan penyanyi Susan Boyle? Seorang ibu warga negara inggris yang sudah berumur 47 tahun. Ia ingin merubah nasib hidupnya dengan mengikuti kontes Britains Got Talent tahun 2009. Hari itu adalah tepat hari sabtu tanggal 11 April. Ibu yang bakatnya diketahui oleh jagad raya setelah berumur 47 tahun ini, akhirnya di babak final memang kalah dengan kelompok anak muda yang menampilkan tarian mirip breakdance. Akan tetapi semangat perubahan, tidak mengenal lelah, dan indahnya alunan suara yang keluar dari mulutnya, membuat para hadirin terpana. Membuat inspirasi para ibu-ibu usia senja di belahan dunia. Bahkan ada seorang juri yang berdiri dan membuka mulutnya seakan-akan ingin mengucapkan Wow! Fantastic! Tahukah anda, respon pertama kali dari orang-orang yang berada di gedung Britains Got Talent ketika ia tampil di podium dan ditanya oleh dewan juri, berapa umur anda?  Jawabannya yang jujur 47 tahun, membuat para hadirin yang melihat penampilan seorang ibu normal seperti ibu rumah tangga kebanyakan sedikit meragukan kemampuan talennya. Mana mungkin ibu ini sanggup bersaing dengan rifal-rifal lainnya, batin para hadirin.
Semua orang tahu, bahwa Britains Got Talent adalah kancah anak-anak muda berbakat yang ingin mendunia kan bakatnya. Melejitkan kemampuannya untuk menjadi artis dunia. Mereka harus melalui beberapa babak yang sulit untuk bisa tampil di depan dewan juri. Tidak jarang mereka harus berlatih keras berbulan-bulan untuk tampil sebagai peserta yang muncul di layar tv. Terlihat dari kaca tv pada saat itu dari kursi hadirin, beberapa anak perempuan muda yang menampilkan mimik wajah meragukan dan bahkan terlihat mencemohkannya ketika mendengar jawaban Susan bahwa ia berumur 47 tahun! Mereka saling berpandangan seakan-akan tidak percaya seorang ibu berumur 47 tahun berani tampil dalam acara yang sangat sulit untuk menang ini. Tahukah anda Susan berhasil melejitkan bakatnya pada usia 47 tahun? Dan sekarang ia menjadi jutawan dan orang terkenal dalam usia senjanya. Menjadi orang yang ditulis di media-media internasional sebagai ibu yang berhasil dalam karir senjanya.
Tahukah anda apa yang diucapkan oleh Susan ketika ia berhasil dalam kontes talennya?
“I don’t believe it! I don’t believe it! ”
Semua orang termasuk seorang ayah kepada anaknya, terkadang tidak mengira bahwa dengan bakat yang dianggap kecil, dapat merubah semua jalan hidupnya.  Akan tetapi ketika lukisan sang ayah berhasil diselesaikan nya dengan baik, maka seorang ayah dan anak akan menemukan bakat anak yang dimilikinya. Bukan saja bakat! bahkan kesuksesan hidup anaknya. InsyaAllah.
Mengantarkan anak menemukan kesuksesan dirinya adalah tugas mulia seorang ayah. Memunculkan kesuksesan pada diri anak adalah suatu proses yang terkadang tidak pendek. Tidak mustahil akan ditemukannya pada saat anak sudah berumur dan ayah menjelang umur kematian. Proses penemuan ini memerlukan ketekunan dan kekuatan kesabaran dari orang tuanya, khususnya adalah ayahnya. Karena itu dalam melukis masa depan anak, bagi seorang ayah ada tiga bekalan yang tidak boleh ditinggalkannya, yaitu sabar, sabar dan sabar. Kesabaran itu terkadang pahit, akan tetapi manis buahnya. Kesabaran  seperti yang dimiliki oleh Nabiullah Ya’kub AS ketika menghadapi kejahatan kakaknya Yusuf AS dan hilangnya anak tercinta, Yusuf AS. Kesabaran Ya’kub AS ini diabadikan oleh Allah SWT di dalam Al-Quran surat Yusuf ayat 18.
وَجَاءُوا عَلَىٰ قَمِيصِهِ بِدَمٍ كَذِبٍ ۚ قَالَ بَلْ سَوَّلَتْ لَكُمْ أَنفُسُكُمْ أَمْرًا ۖ فَصَبْرٌ جَمِيلٌ ۖ وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ عَلَىٰ مَا تَصِفُونَ
Mereka datang membawa baju gamis nya (yang berlumuran) dengan darah palsu. Ya’qub berkata: ‘Sebenarnya dirimu sendirilah yang memandang baik perbuatan (yang buruk) itu; maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku). Dan Allah sajalah yang di mohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu ceritakan’”. (QS. Yusuf[12]:18)
Pengetahuan akan kebenaran dari seorang nabi tidak menjadikan Ya’kub AS menghardik anak-anaknya. Ya’kub AS tahu bahwa walaupun ia mengatakan bahwa anak-anaknya semua adalah pembohong dan sesungguhnya telah membuang Yusuf AS, tetap saja anak-anaknya tidak akan mengakuinya. Pengetahuan kenabian yang tidak diketahui oleh anak-anaknya, tidak menyebabkan Ya’kub AS membela pendapatnya, “Pokoknya kamu salah, dan aku tahu aku yang paling benar.” Akan tetapi Nabiullah Ya’kub AS justru menguatkan kesabaran dengan mengucapkan, “maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku).” Subhanallah. Seorang tipe ayah yang tetap dengan kebenaran dan kesabaran walaupun sulit menunjukkannya langsung kepada anak-anaknya. Akan tetapi semua ini akan dijawab oleh Allah SWT yang mengetahui dan mengatur segala sesuatu yang terjadi di jagad raya ini.


Pengaruh Nama Pada Anak

Pengaruh Nama Pada Anak

Oleh: Anna Mariani Kartasasmita, SH. MPsi.


Kirim Print
0diggsdigg
email
dakwatuna.com - Para ahli sosiologi berpendapat bahwa nama yang berikan orangtua kepada anaknya akan mempengaruhi kepribadian, kemampuan anak dalam berinteraksi dengan orang lain, dan bagaimana cara orang menilai diri si pemilik nama.
Banyak alasan dan pertimbangan para orangtua dalam memilihkan nama anak. Ada yang menyukai anaknya memiliki nama yang unik dan tidak ‘pasaran’. Mungkin mereka tidak suka membayangkan ketika nama anaknya dipanggil di depan kelas, ternyata ada lima orang anak yang maju karena kebetulan namanya sama. Ada yang lebih suka anaknya memiliki nama yang singkat dan mudah diingat. Orangtua seperti ini akan beralasan, “Toh nanti anakku akan dipanggil dengan nama bapaknya di elakang namanya.” Walaupun pernah kejadian orang Indonesia yang diharuskan mengisi suatu formulir di negara Eropa agak kebingungan karena diharuskan mengisi kolom nama keluarga. Padahal sebagaimana juga kebanyakan orang Indonesia, nama yang ada di kartu indentitasnya hanya nama tunggal, tanpa nama keluarga atau bin/binti.
Beberapa orangtua lain memilihkan nama yang megah untuk buah hati mereka. Sementara bagi kalangan tertentu ada kepercayaan jika anak ‘keberatan nama’ nanti bisa sakit-sakitan. Sebagian orang ada yang menganggap nama sebagai sesuatu yang biasa, sekedar identitas yang membedakan seseorang dengan yang lain. Ada lagi yang memilihkan nama untuk anaknya berdasarkan rasa penghargaan terhadap seseorang yang dianggap telah berjasa atau dikagumi. “As a tribute to,” demikian alasannya.
Sebagai orangtua, kita perlu tahu makna dari sebuah nama dan mempertimbangkan yang terbaik untuk anak kita. Bayangkan bahwa anak kita akan menyandang nama tersebut sejak tertulis di akte kelahiran, hingga di hari akhir nanti.
Bagi umat muslim, nama adalah doa yang berisi harapan masa depan si pemilik nama. Para calon orang tua yang peduli tidak hanya berusaha memilih nama yang indah bagi anaknya, tapi juga nama yang memiliki arti yang baik dan memberikan dampak atau sugesti kebaikan bagi anak. Dr. Abdullah Nashih Ulwan dalam buku Pedoman Pendidikan Anak dalam Islam menyebutkan beberapa hal penting tentang pemberian nama kepada anak.
Menurut beliau kita para orangtua hendaknya:
1. Memberikan nama segera setelah bayi dilahirkan. Lamanya berkisar antara sehari hingga tujuh hari setelah dilahirkan. Dalam sebuah hadits Rasulullah saw. bersabda, “Tadi malam telah lahir seorang anakku. Kemudian aku menamakannya dengan nama Abu Ibrahim.” (Muslim).
Dari Ashhabus-Sunan dari Samirah, Rasulullah saw. bersabda, “Setiap anak itu digadaikan dengan aqiqahnya. Disembelihkan (binatang) baginya pada hari ketujuh (dari hari kelahiran)nya, diberi nama, dan dicukur kepalanya pada hari itu.”
2. Memperhatikan petunjuk pemberian nama, dengan mengatahui nama-nama yang disukai dan dibenci. Ada pun nama-nama yang dianjurkan Rasulullah saw. adalah:
  • Nama-nama yang baik dan indah. Rasulullah saw. menganjurk, “Sesungguhnya pada hari kiamat nanti kamu sekalian akan dipanggil dengan nama-nama kamu sekalian dan nama-nam bapak-bapak kamu sekalian. Oleh karena itu, buatlah nama-nama yang baik untuk kamu sekalian.”
  • Nama-nama yang paling disukai Allah yaitu Abdullah dan Abdurrahman.
  • Nama-nama para nabi seperti Muhammad, Ibrahim, Yusuf, dan lain-lain.
Sedangkan nama-nama yang sebaiknya dihindari adalah:
  • Nama-nama yang dapat mengotori kehormatan, menjadi bahan celaan atau cemoohan orang.
  • Nama yang berasal dari kata-kata yang mengandung makna pesimis atau negatif.
  • Nama-nama yang khusus bagi Allah swt. seperti Al-Ahad, Ash-Shamad, Al-Khaliq, dan lain-lain.
Pengaruh nama pada anak
Orangtua seharusnya berusaha memberikan sebutan nama yang baik, indah dan disenangi anak, karena nama seperti itu dapat membuat mereka memiliki kepribadian yang baik, memumbuhkan rasa cinta dan menghormati diri sendiri. Kemudian mereka kelak akan terbiasa dengan akhlak yang mulia saat berinteraksi dengan orang-orang disekelilingnya.
Anak juga perlu mengetahui dan paham tentang arti namanya. Pemahaman yang baik terhadap nama mereka akan menimbulkan perasaan memiliki, perasaan nyaman, bangga dan perasaan bahwa dirinya berharga.
Bagi lingkungan keluarga, adalah hal yang penting untuk menjaga agar nama anak-anak mereka disebut dan diucapkan dengan baik pula. Sebab ada kebiasaan dalam masyarakat kita yang suka mengubah nama anak dengan panggilan, julukan, atau nama kecil. Sayangnya nama panggilan ini terkadang malah mengacaukan nama aslinya. Nama panggilan ini kadang selain tidak bermakna kebaikan juga bisa mengandung pelecehan. Hal ini kadang terjadi karena nama anak terlalu sulit dilafalkan, baik oleh orang-orang disekitarnya bahkan bagi sang anak sendiri.
Nama yang terdiri dari tiga suku kata atau lebih akan membuat orang menyingkat nama tersebut menjadi satu atau dua suku kata. Misalnya Muthmainah akan disingkat menjadi Muti atau Ina. Sedangkan nama yang memiliki huruf ‘R’ biasanya akan lebih sulit dilafalkan anak yang cenderung cedal pada usia balita. Maka nama-nama seperti Rofiq (yang artinya kawan akrab) akan dilafalkan menjadi Opik, nama Raudah (taman) dilafalkan menjadi Auda.
Nama yang unik dan berbeda apalagi megah, mungkin memiliki keuntungan tersendiri. Namun nama yang demikian dapat menyebabkan beberapa masalah. Nama yang sulit diucapkan dapat membuat orang-orang sering salah mengucapkan atau menuliskannya. Ada suatu penelitian yang menunjukkan bahwa orang sering memberikan penilaian negatif pada seseorang yang memiliki nama yang aneh atau tidak biasa. Dr. Albert Mehrabian, PhD. melakukan penelitian tentang bagaimana sebuah nama mengubah persepsi orang lain tentang moral, keceriaan, kesuksesan, bahkan maskulinitas dan feminitas. Dalam pergaulan anak yang memiliki nama yang tidak biasa mungkin akan mengalami masa-masa diledek atau diganggu oleh teman-temannya karena namanya dianggap aneh. Pernah mendengar ada seseorang yang bernama Rahayu ternyata seorang laki-laki?
Jika ingin menamai anak dengan nama orang lain, ada baiknya memilih nama orang yang sudah meninggal dunia dan telah terbukti kebaikannya. Jika orang tersebut masih hidup, dikuatirkan suatu saat orang tersebut berubah atau mengalami kehidupan yang tercela. Sudah banyak contoh orang-orang yang pada sebagian hidupnya dianggap sebagai orang besar, ternyata di kemudian hari atau di akhir hayatnya digolongkan sebagai orang yang banyak dicela masyarakat. Kita harus menjaga jangan sampai anak kita menanggung malu karena suatu saat dirinya diasosiasikan dengan orang yang tidak baik.
Beruntunglah kita, karena di Indonesia nama-nama Islami sangat biasa dan banyak. Sehingga tidak ada alasan merasa malu atau aneh memiliki nama yang Islami. Hanya saja mungkin dari segi kepraktisan perlu dipertimbangkan nama anak yang cukup mudah diucapkan, tidak terlalu pasaran tapi tidak aneh, dan sebuah nama yang akan disandang anak kita dengan bangga sejak masa kanak-kanak hingga dewasa nanti. Wallahu alam.


Menanam Dasar-Dasar Iman Pada Anak

Menanam Dasar-Dasar Iman Pada Anak

Oleh: Mochamad Bugi

Kirim Print
0diggsdigg
email
Anak Shalat Berjama'ahdakwatuna.com – Akidah adalah fondasi yang kokoh bagi bangunan peradaban Islam. Tanpa akidah yang terpancang, kekuatan peradaban yang bangun akan goyah. Dan tugas menanamkan akidah adalah tugas setiap keluarga muslim kepada anak-anak mereka.
Yakinlah, lembaga sekolah tidak bisa menjamin bisa menggantikan tugas penting orang tua itu. Tapi, mungkin sekolah bisa memberi pengayaan pengetahuan tentang data-data yang menguatkan akidah dan pokok-pokok ajaran agama kepada anak-anak kita.
Menanamkan akidah ke dalam hati anak-anak kita memang bukan pekerjaan instant. Butuh waktu dan kesabaran. Sebab, akidah adalah masalah yang abstrak. Tapi yakinkan kepada anak kita bahwa sekarang mungkin mereka tidak mengerti, seiring dengan waktu dan berkembangnya pikiran mereka, kelak mereka akan paham.
Pemahaman akidah yang seperti apa yang harus kita tanamkan kepada anak-anak kita sejak dini? Tentu saja tentang Allah swt., tentang kitab-kitab samawi, tentang malaikat, tentang nabi dan rasul, tentang hari akhir. Tentu saja perlu bahasa sederhana untuk menyampaikan hal-hal yang badihi (aksiomatik) tentang itu semua.
Sebagai contoh, kenalkan kepada anak kita tentang hal-hal berikut ini.
1. Allah adalah Maha Esa. Tidak ada sekutu bagi-Nya dan tidak ada yang menyerupai Dia.
2. Setiap makhluk, termasuk anak kita, butuh kepada Allah swt. dan Allah swt. tidak butuh kepada selain diri-Nya.
3. Mengesakan Allah dalam ibadah adalah wajib.
4. Rahmat Allah swt. sangat luas sedangkan siksa-Nya sangat pedih.
5. Allah swt. mencintai hambanya yang taat dan membenci orang yang maksiat.
6. Dalam beribadah kepada-Nya, kita tidak membutuhkan perantara.
7. Hanya kepada Allah swt., kita meminta. Tidak kepada yang lain.
8. Tidak ada ketaatan terhadap makhluk jika harus bermaksiat kepada Allah swt.
9. Kita hanya diajurkan untuk memikirkan makhluknya, tidak memikirkan Dzat Allah swt.
10. Dia Allah swt. yang memberi manfaat dan mudharat. Tidak ada yang memberi manfaat dan mudharat tanpa seizin-Nya.
11. Kita mengimani bahwa Allah swt. telah mengutus Rasul-Nya untuk membimbing umat manusia.
12. Semua Rasul menyuruh kepada tauhid dan beriman kepada Allah swt.
13. Para Rasul adalah maksum (terpelihara) dari dosa dan kemaksiatan.
14. Rasul kita adalah Muhammad saw. yang diutus untuk seluruh manusia, sedangkan rasul-rasul sebelumnya diutus hanya untuk kaumnya saja.
15. Jumlah Rasul banyak, dan hanya 25 orang dari mereka yang telah dikisahkan oleh Allah kepada kita melalui Al-Qur’an.
16. Rasul yang tergolong ulul ‘azmi (yang memiliki keteguhan hati) ada lima orang, yaitu Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa, dan Nabi Muhammad saw.
Masih banyak lagi hal-hal yang aksiomatik dalam akidah Islam yang bisa kita tanamkan kepada anak-anak kita. Tapi, jangan sampai kita menyampaikan hal-hal yang menjadi perselisihan di kalangan ulama agar mereka tidak bingung.
Alhamdulillah, saat ini sudah banyak buku-buku, nasyid (lagu-lagu), dan VCD yang berisi pelajaran tentang akidah dengan bahasa yang sederhana. Kita bisa memakainya sebagai sarana. Ingat, kita memakai semua sarana itu untuk mengajarkan akidah kepada anak-anak kita, bukan membiarkan anak kita bersama dengan sarana-sarana itu. Sebab, sarana (baca: alat) tidak bisa mengajarkan tanpa ada yang aktif menggunakan sarana itu mengajarkannya (baca: guru). Jadi, peran kita, orang tua, tidak pernah tergantikan dengan apa pun!
Semoga kita bisa menunaikan tugas ini. Jika Allah swt. bertanya nanti di hari penghitungan amal, kita telah siap dengan jawaban, “Ya Allah, aku telah mengenalkan diri-Mu dan Rasul-Mu kepada anak-anakku siang dan malam.”

Rabu, 13 Juli 2011

Bacaan bacaan sholat

*DOA IFTITAH

ALLAAHU AKBARU KABIIRAA WAL HAMDU LILLAAHI KATSIIRAA WASUBHAANALLAAHI BUKRATAW WAASHIILAA.
Allah Maha Besar, Maha Sempurna Kebesaran-Nya. Segala Puji Bagi Allah, Pujian Yang Sebanyak-Banyaknya. Dan Maha Suci Allah Sepanjang Pagi Dan Petang.
INNII WAJJAHTU WAJHIYA LILLADZII FATHARAS SAMAAWAATI WAL ARDHA HANIIFAM MUSLIMAW WAMAA ANA MINAL MUSYRIKIIN.
Kuhadapkan Wajahku Kepada Zat Yang Telah Menciptakan Langit Dan Bumi Dengan Penuh Ketulusan Dan Kepasrahan Dan Aku Bukanlah Termasuk Orang-Orang Yang Musyrik.
INNA SHALAATII WANUSUKII WAMAHYAAYA WAMAMAATII LILLAAHIRABBIL ‘AALAMIIN.
Sesungguhnya Sahalatku, Ibadahku, Hidupku Dan Matiku Semuanya Untuk Allah, Penguasa Alam Semesta.
LAA SYARIIKA LAHUU WA BIDZAALIKA UMIRTU WA ANA MINAL MUSLIMIIN.
Tidak Ada Sekutu Bagi-Nya Dan Dengan Demikianlah Aku Diperintahkan Dan Aku Termasuk Orang-Orang Islam.
*AL-FATIHAH

BISMILLAAHIR RAHMAANIR RAHIIM. Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang. AL HAMDU LILLAAHI RABBIL ‘AALAMIIN.
Segala Puji Bagi Allah, Tuhan Semesta Alam.
ARRAHMAANIR RAHIIM.
Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang.
MAALIKIYAUMIDDIIN.
Penguasa Hari Pembalasan.
IYYAAKA NA’BUDU WAIYYAAKA NASTA’IINU.
Hanya Kepada-Mu lah Aku Menyembah Dan Hanya Kepada-Mu lah Aku Memohon Pertolongan.
IHDINASH SHIRAATHAL MUSTAQIIM.
Tunjukilah Kami Jalan Yang Lurus.
SHIRAATHAL LADZIINA AN’AMTA ‘ALAIHIM GHAIRIL MAGHDHUUBI ‘ALAIHIM WALADHDHAALLIIN. AAMIIN.
Yaitu Jalannya Orang-Orang Yang Telah Kau Berikan Nikmat, Bukan Jalannya Orang-Orang Yang Kau Murkai Dan Bukan Pula Jalannya Orang-Orang Yang Sesat.
*R U K U’

SUBHAANA RABBIYAL ‘ADZIIMI WA BIHAMDIH. – 3 x
Maha Suci Tuhanku Yang Maha Agung Dan Dengan Memuji-Nya.
*I’TIDAL
SAMI’ALLAAHU LIMAN HAMIDAH.
Semoga Allah Mendengar ( Menerima ) Pujian Orang Yang Memuji-Nya ( Dan Membalasnya ).

RABBANAA LAKAL HAMDU MIL’US SAMAAWATI WA MIL ‘ULARDHI WA MIL ‘UMAASYI’TA MIN SYAI’IN BA’DU.
Wahai Tuhan Kami ! Hanya Untuk-Mu lah Segala Puji, Sepenuh Langit Dan Bumi Dan Sepenuh Barang Yang Kau Kehendaki Sesudahnya.
*SUJUD

SUBHAANA RABBIYAL A‘LAA WA BIHAMDIH. – 3 x
Maha Suci Tuhanku Yang Maha Tinggi Dan Dengan Memuji-Nya.
*DUDUK DIANTARA DUA SUJUD

RABBIGHFIRLII WARHAMNII WAJBURNII WARFA’NII WARZUQNII WAHDINII WA’AAFINII WA’FU ‘ANNII.
Ya Tuhanku ! Ampunilah Aku, Kasihanilah Aku, Cukupkanlah ( Kekurangan )-Ku, Angkatlah ( Derajat )-Ku, Berilah Aku Rezki, Berilah Aku Petunjuk, Berilah Aku Kesehatan Dan Maafkanlah ( Kesalahan )-Ku.
*TASYAHUD AWAL

ATTAHIYYAATUL MUBAARAKAATUSH SHALAWATUTH THAYYIBAATU LILLAAH.
Segala Kehormatan, Keberkahan, Rahmat Dan Kebaikan Adalah Milik Allah.
ASSALAAMU ‘ALAIKA AYYUHAN NABIYYU WARAHMATULLAAHI WABARAKAATUH.
Semoga Keselamatan, Rahmat Allah Dan Berkah-Nya ( Tetap Tercurahkan ) Atas Mu, Wahai Nabi.
ASSALAAMU ‘ALAINAA WA ‘ALAA ‘IBADADILLAAHISH SHAALIHIIN.
Semoga Keselamatan ( Tetap Terlimpahkan ) Atas Kami Dan Atas Hamba-Hamba Allah Yang Saleh.
ASYHADU ALLAA ILAAHA ILLALLAAH. WA ASYHADU ANNA MUHAMMADAR RASUULULLAAH.
Aku Bersaksi Bahwa Tidak Ada Tuhan Selain Allah. Dan Aku Bersaksi Bahwa Muhammad Adalah Utusan Allah.
ALLAAHUMMA SHALLI ‘ALAA SAYYIDINAA MUHAMMAD.
Wahai Allah ! Limpahkanlah Rahmat Kepada Penghulu Kami, Nabi Muhammad !.
*TASYAHUD AKHIR
ATTAHIYYAATUL MUBAARAKAATUSH SHALAWATUTH THAYYIBAATU LILLAAH.
Segala Kehormatan, Keberkahan, Rahmat Dan Kebaikan Adalah Milik Allah.
ASSALAAMU ‘ALAIKA AYYUHAN NABIYYU WARAHMATULLAAHI WABARAKAATUH.
Semoga Keselamatan, Rahmat Allah Dan Berkah-Nya ( Tetap Tercurahkan ) Atas Mu, Wahai Nabi.
ASSALAAMU ‘ALAINAA WA ‘ALAA ‘IBADADILLAAHISH SHAALIHIIN.
Semoga Keselamatan ( Tetap Terlimpahkan ) Atas Kami Dan Atas Hamba-Hamba Allah Yang Saleh.
ASYHADU ALLAA ILAAHA ILLALLAAH. WA ASYHADU ANNA MUHAMMADAR RASUULULLAAH.
Aku Bersaksi Bahwa Tidak Ada Tuhan Selain Allah. Dan Aku Bersaksi Bahwa Muhammad Adalah Utusan Allah.
ALLAAHUMMA SHALLI ‘ALAA SAYYIDINAA MUHAMMAD ( tasyahud awal ) WA ‘ALAA AALI SAYYIDINAA MUHAMMAD.
Wahai Allah ! Limpahkanlah Rahmat Kepada Penghulu Kami, Nabi Muhammad Dan Kepada Keluarga Penghulu Kami Nabi Muhammad.
KAMAA SHALLAITAA ‘ALAA SAYYIDINAA IBRAAHIIM WA ‘ALAA AALI SAYYIDINAA IBRAAHIIM.
Sebagaimana Telah Engkau Limpahkan Rahmat Kepada Penghulu Kami, Nabi Ibrahim Dan Kepada Keluarganya.
WA BAARIK ‘ALAA SAYYIDINAA MUHAMMAD WA ‘ALAA AALI SAYYIDINAA MUHAMMAD.
Dan Limpahkanlah Berkah Kepada Penghulu Kami, Nabi Muhammad Dan Kepada Keluarganya.
KAMAA BAARAKTA ‘ALAA SAYYIDINAA IBRAAHIIM WA ‘ALAA AALI SAYYIDINAA IBRAAHIIM.
Sebagaimana Telah Engkau Limpahkan Berkah Kepada Penghulu Kami, Nabi Ibrahim Dan Kepada Keluarganya.
FIL ‘AALAMIINA INNAKA HAMIIDUMMAJIID. YAA MUQALLIBAL QULUUB. TSABBIT QALBII ‘ALAA DIINIK.
Sungguh Di Alam Semesta Ini, Engkau Maha Terpuji Lagi Maha Mulia. Wahai Zat Yang Menggerakkan Hati. Tetapkanlah Hatiku Pada Agama-Mu.

Fiqih Thaharah: Tayamum

Tayamum
1. Ta’rif
Ilustrasi (inet)
dakwatuna.com – Tayamum adalah menggunakan tanah yang suci dengan cara tertentu disertai niat untuk kebolehan shalat. Firman Allah:
وَإِن كُنتُم مَّرْضَىٰ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِّنكُم مِّنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا ﴿٤٣﴾
“Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau kembali dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.” (QS. An-Nisa: 43).
Tayamum dapat menggantikan wudhu dan mandi.
2. Sebab Kebolehan Tayamum
Sebab utama diperbolehkan tayamum adalah karena ketiadaan air, seperti dalam firman Allah, “… kemudian kamu tidak mendapat air (An-Nisa: 43)
Ketiadaan air itu bisa hakiki atau hukmi, dan masing-masing memiliki kondisi yang sangat beragam, kami ringkas berikut ini:
a. Ketiadaan hakiki: yaitu dengan tidak ditemukan air setelah melakukan pencarian baik dilakukan oleh musafir yang jauh ari perkampungan sejauh satu mil, atau di perkampungan yang tidak ada air. Kewajiban awalnya adalah mencari air, jika ada yang dekat,[1] atau dugaan kuat ada air di suatu tempat. Demikianlah pendapat mazhab Hanafi. Sedang menurut mazhab Syafi’i dan Hambali kewajiban mencari itu berlaku jika yakin ada air.
Atau mendapatkan air yang tidak cukup untuk bersuci, atau lebih dibutuhkan untuk minum sendiri atau minum makhluk lain, manusia atau hewan, atau lebih dibutuhkan untuk makan. Imam Ahmad berkata: Beberapa orang sahabat melakukan tayamum dan menyimpan air untuk minumnya.
Ketiadaan Hukmi: yaitu keberadaan air yang cukup tetapi ia tidak dapat menggunakannya karena sakit dan menambah sakitnya atau memperlambat kesembuhannya. Atau karena air sangat dingin yang membahayakan manusia jika memakainya dan tidak mampu menghangatkannya. Sahabat Amr bin Ash RA shalat Subuh dengan tayamum karena takut celaka jika mandi dengan air dingin dalam perang Dzatussalasil, dan Rasulullah mengiyakannya. (Ahmad, Abu Dawud, dan dishahihkan oleh Al-Hakim dan Ibnu Hibban, Al-Bukhari memberikan catatan hadits ini, Al-Mundziri menilainya hadits Hasan, dan Al-Hafizh Ibnu Hajar menguatkannya).
Atau air berada di dekat, tetapi tidak dapat mengambilnya karena ada musuh atau tidak ada alat untuk mengeluarkannya dari sumur.
c. Kehabisan waktu. Jika seseorang merasa takut kehabisan waktu shalat jika menggunakan air, dan cukup waktu jika tayamum lalu shalat, maka tidak wajib mengulang menurut mazhab Maliki, wajib mengulang menurut mazhab Hanafi. Tidak boleh tayamum meskipun kehabisan waktu menurut mazhab Hambali dan Syafi’i.
3. Tanah Sebagai Alat  Tayamum
Tanah yang digunakan adalah yang berada di permukaan bumi. Dari itulah diperbolehkan bertayamum dengan debu dan seluruh benda suci sejenisnya yang ada di muka bumi seperti pasir, batu, semen, dan kapur. Tetapi menurut mazhab Syafi’i, tayamum hanya diperbolehkan dengan debu atau pasir yang mengandung debu.
4. Cara Tayamum
Seorang yang hendak bertayamum berniat dahulu, kemudian membaca basmalah, lalu menepukkan telapak tangannya ke atas tanah yang suci dengan sekali atau dua kali tepukan, kemudian diangkat tangannya dan ditiup sehingga tidak ada debu yang membekas di tangan, kemudian mengusapkan dua tangan itu ke muka dan dua telapak tangannya sampai ke pergelangan, seperti yang disebutkan dalam hadits Ammar bin Yasir RA berkata,
بَعَثَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَاجَةٍ فَأَجْنَبْتُ فَلَمْ أَجِد الْمَاءَ فَتَمَرَّغْتُ فِي الصَّعِيدِ كَمَا تَمَرَّغُ الدَّابَّةُ فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيكَ أَنْ تَصْنَعَ هَكَذَا فَضَرَبَ بِكَفِّهِ ضَرْبَةً عَلَى الْأَرْضِ ثُمَّ نَفَضَهَا ثُمَّ مَسَحَ بِهِمَا ظَهْرَ كَفِّهِ بِشِمَالِهِ أَوْ ظَهْرَ شِمَالِهِ بِكَفِّهِ ثُمَّ مَسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ
“Rasulullah saw mengutusku dalam satu hajat, lalu saya junub dan tidak menemukan air untuk mandi, kemudian saya berguling-guling di tanah seperti hewan. Dan ketika saya bertemu Nabi saya ceritakan peristiwa itu. Lalu Nabi bersabda, ‘Sebenarnya kamu cukup dengan memukulkan kedua tanganmu ke tanah dengan sekali pukulan, kemudian tangan kiri mengusap yang kanan dan punggung telapak tangan dan wajahnya.” (Muttafaq Alaih).
Demikianlah mazhab Hambali dan Maliki. Sedangkan dalam mazhab Hanafi dan Syafi’i, mereka berpendapat pengusapan tangan harus sampai ke dua siku. Mereka berpegang dengan beberapa hadits dhaif yang tidak sampai menandingi hadits Ammar di atas. Imam Nawawi, penulis kitab Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab, dan Ash Shan’ani penulis kitab Subulussalam, mentarjih/menguatkan pendapat pertama, padahal keduanya bermazhab Syafi’i
5. Hal-Hal Yang Diperbolehkan Dengan Tayamum
Tayamum adalah pengganti wudhu dan mandi, maka dengan tayamum itu diperbolehkan apa saja yang diperbolehkan oleh keduanya, seperti: Shalat, thawaf, dan memegang mushaf. Mazhab Hanafi berpendapat bahwa orang yang bertayamum dapat shalat dengan tayamumnya itu berapa saja shalat fardhu maupun sunnah yang dia mau, sehingga hilang penyebab pembolehan tayamum. Sedangkan menurut mazhab Syafi’i tayamum hanya bisa dipakai untuk sekali shalat fardhu dan shalat sunnah tidak terbatas.
6. Hal-Hal Yang Membatalkan Tayamum
Segala yang membatalkan wudhu, membatalkan tayamum. Tayamum batal jika hilang penyebab pembolehan, seperti sudah mendapati air atau sudah mampu menggunakan air. Akan tetapi jika sudah shalat dengan tayamum kemudian menemukan air maka ia tidak wajib mengulanginya[2]. Sedangkan orang yang tayamum karena junub maka ia harus mandi ketika sudah menemukan air.[3]

Catatan Kaki:
[1] Keberadaan air dianggap jauh ketika berjarak lebih dari satu mil (1847 m) menurut mazhab Hanafi, atau setengah farsakh sekitar satu setengah  mil menurut mazhab Syafi’i (2771 m) atau dua mil  menurut mazhab Maliki (3694 m)
[2] Menurut mazhab Maliki dan Syafi’i karena hadits Rasulullah saw. terhadap orang yang tidak mengulang shalat setelah menemukan air: “Kamu sesuai dengan sunnah dan shalatmu sudah boleh” (Abu Dawud dan An Nasa’i).
[3] Karena hadits Imran RA berkata, “Rasulullah saw. shalat bersama dengan kaum muslimin. Ketika usai shalat, tiba-tiba ada seorang laki-laki yang menyendiri dan tidak ikut shalat bersama kaum muslimin. Nabi menegurnya: Mengapa kamu tidak shalat bersama kaum muslimin? Orang itu menjawab: Saya junub dan tidak ada air. Sabda Nabi: Kamu bisa gunakan tanah, itu cukup. Kemudian Imran menyebutkan bahwa setelah mereka menemukan air, Rasulullah memberikan air kepada orang yang junub tadi dengan mengatakan,’ bawalah dan gunakan mandi.” (Al-Bukhari).

Senin, 11 Juli 2011

Adzan

 Adzan merupakan panggilan bagi umat Islam untuk memberitahu masuknya salat fardu. Dikumandangkan oleh seorang muadzin setiap salat 5 waktu. Lafadz adzan terdiri dari 7 bagian:
اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ.
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ.
أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً رَسُوْلُ اللهِ. أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً رَسُوْلُ اللهِ.
حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ
حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ
اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ.
 لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ
Allah Maha Besar, Allah Maha Besar
Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah, Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah
Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah Utusan Allah, Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah Utusan Allah
Marilah sholat, Marilah sholat
Marilah menuju kemenangan, Marilah menuju kemenangan
Allah Maha Besar, Allah Maha Besar
Tiada Tuhan selain Allah

1.     Allahu Akbar, Allahu Akbar (2 kali); artinya: "Allah Maha Besar, Allah Maha Besar"
2.     Asyhadu alla ilaha illallah (2 kali) "Aku bersaksi bahwa tiada sesembahan selain Allah"
3.     Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah (2 kali) "Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasul Allah"
4.     Hayya 'alash sholah (2 kali) "Mari menunaikan salat"
5.     Hayya 'alal falah (2 kali) "Mari meraih kemenangan"
6.     Ashsalatu khairum minan naum (2 kali) "Shalat itu lebih baik daripada tidur" (hanya diucapkan dalam azan Subuh)
7.     Allahu Akbar, Allahu Akbar (1 kali) "Allah Maha Besar, Allah Maha Besar"
8.     Lailaha ilallah (1 kali) "Tiada sesembahan selain Allah"

*       2 Adab adzan
*       3 Menjawab azan
*       4 Pustaka
*       5 Catatan
*       6 Lihat pula

Sejarah adzan dan iqamah

Adzan mulai disyariatkan pada tahun kedua Hijriah. Mulanya, pada suatu hari Nabi Muhammad SAW mengumpulkan para sahabat untuk memusyawarahkan bagaimana cara memberitahu masuknya waktu salat dam mengajak orang ramai agar berkumpul ke masjid untuk melakukan salat berjamaah. Di dalam musyawarah itu ada beberapa usulan. Ada yang mengusulkan supaya dikibarkan bendera sebagai tanda waktu salat telah masuk. Apabila benderanya telah berkibar, hendaklah orang yang melihatnya memberitahu kepada umum. Ada juga yang mengusulkan supaya ditiup trompet seperti yang biasa dilakukan oleh pemeluk agama Yahudi. Ada lagi yang mengusulkan supaya dibunyikan lonceng seperti yang biasa dilakukan oleh orang Nasrani. ada seorang sahabat yang menyarankan bahwa manakala waktu salat tiba, maka segera dinyalakan api pada tempat yang tinggi dimana orang-orang bisa dengan mudah melihat ketempat itu, atau setidak-tidaknya asapnya bisa dilihat orang walaupun ia berada ditempat yang jauh. Yang melihat api itu dinyalakan hendaklah datang menghadiri salat berjamaah. Semua usulan yang diajukan itu ditolak oleh Nabi, tetapi beliau menukar lafal itu dengan assalatu jami’ah (marilah salat berjamaah). (KYP3095) Lantas, ada usul dari Umar bin Khattab jikalau ditunjuk seseorang yang bertindak sebagai pemanggil kaum Muslim untuk salat pada setiap masuknya waktu salat. Kemudian saran ini agaknya bisa diterima oleh semua orang dan Nabi Muhammad SAW juga menyetujuinya.

Asal muasal adzan berdasar hadits

Lafal adzan tersebut diperoleh dari hadits tentang asal muasal adzan dan iqamah:
Abu Dawud mengisahkan bahwa Abdullah bin Zaid berkata sebagai berikut: "Ketika cara memanggil kaum muslimin untuk salat dimusyawarahkan, suatu malam dalam tidurku aku bermimpi. Aku melihat ada seseorang sedang menenteng sebuah lonceng. Aku dekati orang itu dan bertanya kepadanya apakah ia ada maksud hendak menjual lonceng itu. Jika memang begitu aku memintanya untuk menjual kepadaku saja. Orang tersebut malah bertanya," Untuk apa? Aku menjawabnya, "Bahwa dengan membunyikan lonceng itu, kami dapat memanggil kaum muslim untuk menunaikan salat." Orang itu berkata lagi, "Maukah kau kuajari cara yang lebih baik?" Dan aku menjawab "Ya!" Lalu dia berkata lagi dan kali ini dengan suara yang amat lantang:
*       Allahu Akbar Allahu Akbar
*       Asyhadu alla ilaha illallah
*       Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah
*       Hayya 'alash sholah (2 kali)
*       Hayya 'alal falah (2 kali)
*       Allahu Akbar Allahu Akbar
*       La ilaha illallah
Ketika esoknya aku bangun, aku menemui Nabi Muhammad.SAW, dan menceritakan perihal mimpi itu kepadanya, kemudian Nabi Muhammad. SAW, berkata, "Itu mimpi yang sebetulnya nyata. Berdirilah disamping Bilal dan ajarilah dia bagaimana mengucapkan kalimat itu. Dia harus mengumandangkan adzan seperti itu dan dia memiliki suara yang amat lantang." Lalu akupun melakukan hal itu bersama Bilal." Rupanya, mimpi serupa dialami pula oleh Umar ia juga menceritakannya kepada Nabi Muhammad, SAW.
Asal muasal iqamah
Setelah lelaki yang membawa lonceng itu melafalkan adzan, dia diam sejenak, lalu berkata: "Kau katakan jika salat akan didirikan:
*       Allahu Akbar, Allahu Akbar
*       Asyhadu alla ilaha illallah
*       Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah
*       Hayya 'alash sholah
*       Hayya 'alal falah
*       Qod qomatish sholah (2 kali), artinya "Salat akan didirikan"
*       Allahu Akbar, Allahu Akbar
*       La ilaha illallah
Begitu subuh, aku mendatangi Rasulullah SAW kemudian kuberitahu beliau apa yang kumimpikan. Beliaupun bersabda: "Sesungguhnya itu adalah mimpi yang benar, insya Allah. Bangkitlah bersama Bilal dan ajarkanlah kepadanya apa yang kau mimpikan agar diadzankannya (diserukannya), karena sesungguhnya suaranya lebih lantang darimu." Ia berkata: Maka aku bangkit bersama Bilal, lalu aku ajarkan kepadanya dan dia yang berazan. Ia berkata: Hal tersebut terdengar oleh Umar bin al-Khaththab ketika dia berada di rumahnya. Kemudian dia keluar dengan selendangnya yang menjuntai. Dia berkata: "Demi Dzat yang telah mengutusmu dengan benar, sungguh aku telah memimpikan apa yang dimimpikannya." Kemudian Rasulullah SAW bersabda: "Maka bagi Allah-lah segala puji."
HR Abu Dawud (499), at-Tirmidzi (189) secara ringkas tanpa cerita Abdullah bin Zaid tentang mimpinya, al-Bukhari dalam Khalq Af'al al-Ibad, ad-Darimi (1187), Ibnu Majah (706), Ibnu Jarud, ad-Daruquthni, al-Baihaqi, dan Ahmad (16043-redaksi di atas). At-Tirmidzi berkata: "Ini hadits hasan shahih". Juga dishahihkan oleh jamaah imam ahli hadits, seperti al-Bukhari, adz-Dzahabi, an-Nawawi, dan yang lainnya. Demikian diutarakan al-Albani dalam al-Irwa (246), Shahih Abu Dawud (512), dan Takhrij al-Misykah (I: 650).

Adab adzan

Adapun adab melaksanakan azan menurut jumhur ulama ialah:
1.     muazin hendaknya tidak menerima upah dalam melakukan tugasnya;
2.     muazin harus suci dari hadas besar, hadas kecil, dan najis;
3.     muazin menghadap ke arah kiblat ketika mengumandangkan azan;
4.     ketika membaca hayya ‘ala as-salah muazin menghadapkan muka dan dadanya ke sebelah kanan dan ketika membaca hayya ‘ala al-falah menghadapkan muka dan dadanya ke sebelah kiri;
5.     muazin memasukkan dua anak jarinya ke dalam kedua telinganya;
6.     suara muazin hendaknya nyaring;
7.     muazin tidak boleh berbicara ketika mengumandangkan azan;
8.     orang-orang yang mendengar azan hendaklah menyahutnya secara perlahan dengan lafal-lafal yang diucapkan oleh muazin, kecuali pada kalimat hayya ‘ala as-salah dan hayya ‘ala al-falah yang keduanya disahut dengan la haula wa la quwwata illa bi Allah (tidak ada daya dan kekuatan kecuali dari Allah);
9.     setelah selesai azan, muazin dan yang mendengar azan hendaklah berdoa: Allahumma rabba hazihi ad-da’wah at-tammah wa as-salati al-qa’imah, ati Muhammadan al-wasilah wa al-fadilah wab’ashu maqaman mahmuda allazi wa’adtahu (Wahai Allah, Tuhan yang menguasai seruan yang sempurna ini, dan salat yang sedang didirikan, berikanlah kepada Muhammad karunia dan keutamaan serta kedudukan yang terpuji, yang telah Engkau janjikan untuknya [HR. Bukhari]). (KYP3095)

Menjawab azan

Apabila kita mendengar suara azan, kita disunnahkan untuk menjawab azan tersebut sebagaimana yang diucapkan oleh muazin, kecuali apabila muazin mengucapkan "Hayya alash shalah", "Hayya alal falah", dan "Ashsalatu khairum minan naum" {dalam azan Subuh).
Bila muazin mengucapkan "Hayya alash shalah" atau "Hayya alal falah", disunnahkan menjawabnya dengan lafazh "La haula wa la quwwata illa billahil 'aliyyil 'azhim" yang artinya "Tiada daya dan tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah".
Dan bila muazin mengucapkan "Ashsalatu khairum minan naum" dalam azan Subuh, disunnahkan menjawabnya dengan lafazh "Shadaqta wa bararta wa ana 'ala dzalika minasy syahidin" yang artinya "Benarlah engkau dan baguslah ucapanmu dan saya termasuk orang-orang yang menyaksikan kebenaran itu".
اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ.
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ.
أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً رَسُوْلُ اللهِ. أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً رَسُوْلُ اللهِ.
حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ
حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ
اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ. لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ
 Hadits riwayat Abu Mahdzurah Radhiyallahu’anhu, Sesungguhnya NabiAllah Shallallahu alaihi wassalam mengajarkannya adzan itu begini:
Allah Maha Besar, Allah Maha Besar
Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah, Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah
Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah Utusan Allah, Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah Utusan Allah
Marilah sholat, Marilah sholat
Marilah menuju kemenangan, Marilah menuju kemenangan
Allah Maha Besar, Allah Maha Besar
                                                     Tiada Tuhan selain Allah

Pengunjung